Sabtu, 06 Maret 2010

Renungan Mendalam Terhadap Dakwah Salafiyah

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata dalam kaset al-Ajwibah al-Albani ‘alal As`ilah al-Kuwaitiyah, side-A ketika menjawab pertanyaan sebagai berikut:

Bagaimana pendapat Anda tentang posisi dakwah Salafiyah secara umum, dan secara khusus di Kuwait, Mesir dan Saudi?

Beliau menjawab:

Aku katakan, sesungguhnya dakwah salafiyah saat ini – sangat disayangkan – berada dalam kegoncangan. Dan menurutku sebabnya adalah ketergesa-gesaan banyak pemuda muslim yang mengaku berilmu. Sehingga dia pun lancang berani berfatwa, mengharamkan dan menghalalkan sesuatu, sebelum dia dikenal. Sebagian mereka – sebagaimana yang sering kami dengar – tidak bisa membaca ayat al-Qur`an dengan baik, meskipun ayat itu ada dihadapannya dalam mushaf yang mulia.

Lebih dari itu, dia sering salah dalam membaca hadits Rosul – ‘alaihis sholatu was salam -. Maka dia sebagaimana permumpaan yang ma’ruf, “Menjadi zabib (kismis, anggur kering) sebelum masa mudanya.” Yakni, buah anggur, pada permulaannya adalah buah yang berwarna hijau, inilah masa mudanya (sebelum matang -pent) yang rasanya masih sangat asam. Buah ini, sebelum sampai pada masa mudanya ini, telah menjadikan dirinya bagaikan zabib; yakni anggur yang telah masak dan menjadi kismis.

Oleh karena itu, maka naiknya kebanyakan orang-orang ini di atas kepala-kepala mereka, dan ketergesa-gesaan mereka dalam pengakuan ilmu dan dalam menulis – padahal mereka belum menempuh sampai pertengahan perjalanan ilmu – inilah yang membuat orang-orang yang berafiliasi kepada dakwah salafiyah sekarang menjadi berkelompok-kelompok dan bergolong-golongan, sangat disayangkan.

Oleh karena itu, satu-satunya solusi adalah hendaknya kaum muslimin ini bertakwa kepada Robb mereka ‘Azza wa Jalla, dan hendaknya mereka mengetahui bahwa tidak semua orang yang telah memulai menuntut ilmu berhak menonjolkan diri untuk berfatwa dalam masalah haram dan halal, juga dalam masalah penshohihan dan pelemahan hadits, kecuali setalah melalui umur yang panjang. Yang mana dalam umur yang panjang ini dia melatih diri untuk mengetahui bagaimana cara berfatwa, dan bagaimana cara beristinbath (mengambil kesimpulan hukum -pent) dari al-Kitab dan as-Sunnah.

Di sini, para dai salafi ini harus mengikatkan diri dengan kait yang ketiga, yang telah aku sebutkan sebelumnya ketika berbicara tentang ilmu yang bermanfaat. Telah kita katakan, bahwa ilmu yang bermanfaat itu wajib di atas manhaj as-salaf ash-sholih (generasi awal umat islam yang sholih -pent). Maka ketika banyak di antara dai islam yang menghindar dari pengikatan diri dengan kait yang telah tetap ini, yaitu kait yang telah diisyaratkan oleh al-Imam Ibnul Qoyyim – rohimahulloh – dalam syairnya yang telah lalu, ketika beliau berkata,

العلم قال الله قال رسوله قال الصحابة ليس بالتمويه

Ilmu adalah firman Alloh, sabda Rosulnya (shollallohu ‘alaihi wa sallam) dan perkataan para sahabat, bukan kepalsuan.

Maka ketiadaan perhatian terhadap apa yang ditempuh oleh Salaf, akan membawa umat manusia – setelah mereka bersepakat (bersatu) – kepada perpecahan yang akan menjauhkan di antara mereka, sebagaimana hal itu telah menjauhkan antara banyak kaum muslimin, sehingga menjadikan mereka berkelompok-kelompok dan bergolong-golongan.

كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (al-Mukminun: 53)

Inilah pandanganku terhadap kenyataan ini. Maka kewajiban mereka – jika mereka adalah orang yang ikhlas, sebagaimana yang kita harapkan – adalah berpegang teguh dengan prinsip-prinsip ilmu yang shohih, dan janganlah berbuat lancang, orang yang belum benar-benar sampai pada tingkatan ilmu hendaknya menjauhi ha itu dan menyerahkan ilmu itu kepada orang-orang yang mengetahuinya.

Di sini, ada sebagian riwayat dalam kitab-kitab hadits yang membuatku takjub. Dan seingatku riwayat itu dari Abdurrohmanbin Abi Laila – rohimahulloh – dan beliau adalah salah seorang ulama besar di kalangan as-Salaf ash-Sholih. Beliau berkata, “Aku telah menemui enam puluh orang sahabat di masjid ini – mungkin beliau mengisyaratkan kepada Masjid di Madinah al-Munawwaroh – dan salah seorang dari mereka jika ditanya tentang suatu masalah atau dimintai fatwa, dia berangan-angan agar hal itu diurusi (dijawab) oleh yang lain di antara ulama Sahabat yang hadir”.

Yang menyebabkan hal itu adalah karena mereka takut terjerumus dalam kesalahan sehingga menjerumuskan yang lain dalam kesalahan. Sehingga salah seorang dari mereka berangan-angan agar dia tidak menanggung beban tanggung jawab ini, namun ditanggung oleh yang lain.

Adapun sekarang, yang nampak adalah kebalikannya, sangat disayangkan. Dan itu kembali kepada sebab yang sangat jelas dan selalu aku sebutkan. Yaitu bahwa keterbukaan yang saat ini kita rasakan terhadap al-Kitab dan as-Sunnah dan dakwah salafiyah adalah suatu hal yang baru terjadi. Keterbukaan yang mereka namakan dengan kebangkitan ini belum melewati waktu yang cukup lama sehingga orang-orang bisa memetik buah dari dakwah, kebangkitan dan keterbukaan ini pada diri-diri mereka. Yakni, mereka terdidik di atas pondasi al-Kitab dan as-Sunnah, kemudian mereka menyebar dengan pendidikan yang shohih dan berdiri di atas al-Kitab dan as-Sunnah ini kepada orang lain di sekitar mereka, (dengan memprioritaskan) yang terdekat kemudian yang dekat.

Maka sebabnya adalah, bahwa dakwah ini belum nampak atsar (pengaruh)nya dikarenakan dakwah ini masih baru pada masa hidup kita sekarang ini. Oleh karena itu kita temui fenomena yang terbalik dengan apa yang telah kita sebutkan tadi, dari apa yang diriwayatkan oleh Abdurrohman bin Abi Laila dari para sahabat yang mereka sangat berhati-hati dari pertanyaan, dan mereka menginginkan agar orang lain yang ditanya. Dan tidaklah mereka menjawab suatu pertanyaan kecuali karena mereka mengetahui bahwa mereka tidak boleh menyembunyikan ilmu. Akan tetapi dalam lubuk hati mereka, mereka menginginkan agar orang lain yang mengurusi hal itu.

Adapun sekarang, engkau bisa temui pada banyak masyarakat salafi – terlebih lagi pada orang selain mereka – jika ditanyakan kepada salah seorang yang dianggap paling berilmu di antara yang hadir, tiba-tiba engkau dapati si fulan mulai berkata padahal dia tidak ditanya, si fulan (yang lain) juga mulai berkata padahal dia tidak ditanya. Apa yang mendorong mereka? Yang mendorong adalah kecintaan terhadap popularitas dan sikap ke-aku-an. Sikapnya mengatakan, “Aku di sini, aku memiliki ilmu”.

Maa Syaa Alloh ‘alaih! Ini menunjukkan apa? Ini menunjukkan bahwa kita belum terdidik dengan pendidikan (tarbiyah) salafiyah. Kita telah tumbuh di atas ilmu salafi (ilmu yang diambil dari generasi terdahulu yang sholih -pent), dan setiap orang sesuai dengan kesungguhan dan usahanya terhadap ilmu ini. Adapun tarbiyah, maka kita belum mendapatkannya sebagai masyarakat islam salafi. Oleh karena itu pada berbagai jamaah, kelompok, dan golongan ini, kita dapati perpecahan semacam ini pada setiap kelompok yang ada. Dan sebabnya tidak lain adalah ketiadaan tarbiyah islamiyah yang shohihah (yang benar).

Aku katakan, solusi untuk umat ini agar bisa kembali kemuliaannya, dan agar terwujud daulah untuknya, tidak ada jalan lain kecuali memulai dengan apa yang aku ringkaskan dengan dua kalimat yaitu tashfiyah dan tarbiyah. Berbeda dengan berbagai jamaah yang banyak yang berusaha menegakkan daulah islam – menurut anggapan mereka – dengan meletakkan tangan-tangan mereka di atas hukum. Baik hal itu dengan jalan damai sebagaimana yang mereka katakan; dengan pemilu, atau dengan jalan berdarah; seperti dengan pemberontakan pasukan, revolusi berdarah dan yang semacamnya.

Kita katakan, ini bukanlah jalan untuk menegakkan daulah islam di atas bumi Islam. Akan tetapi jalannya hanyalah jalan (yang ditempuh) Rosululloh – shollallohu ‘alaihi wa sallam – yang telah berdakwah di Mekah selama tiga belas tahun – sebagaimana yang kalian ketahui – kemudian menyempurnakan dakwahnya di Madinah. Dan di sana (di Madinah) setelah terpilih untuknya orang-orang yang di jalan Alloh tidak terpengaruh oleh celaan orang yang mencela, yakni di antara orang-orang yang mengikuti dan mengimani beliau, maka mulailah beliau meletakkan pondasi untuk daulah Islam.

Dan sejarah – sebagaimana dikatakan – akan berulang. Maka tidak ada jalan lain selamanya. Dan aku sangat yakin terhadap apa yang aku katakan, sedangkan pengalaman nyata semenjak sekitar satu kurun waktu menunjukkan bahwa tidak ada ruang untuk mewujudkan kebangkitan Islam yang benar yang akan menghasilkan penegakkan daulah Islam, kecuali dengan mewujudkan dua tujuan ini. (Pertama) tashfiyah, sebuah ungkapan untuk ilmu yang benar. Dan (kedua) tarbiyah, yaitu dididiknya seorang manusia di atas ilmu yang benar berlandaskan al-Kitab dan as-Sunnah.

Dan kita sekarang, berada pada kebangkitan ilmiyah bukan pada kebangkitan tarbawiyah (pendidikan). Oleh karenanya, kita dapati banyak individu dari kalangan dai yang bisa diambil faidah ilmu darinya, akan tetapi tidak bisa diambil faidah akhlak darinya. Kenapa? Karena dia menumbuhkan dirinya di atas ilmu, akan tetapi dia tidak berada pada lingkungan yang baik yang dia dididik padanya semenjak kecilnya. Oleh karena itu dia hidup dengan membawa akhlak yang telah dia warisi dari masyarakat tempat hidupnya dan tempat kelahirannya. Yaitu masyarakat yang – tidak ragu lagi – bukan masyarakat islami (masyarakat yang tercermin padanya nilai-nilai islam yang shohih -pent). Akan tetapi dengan dirinya atau dengan petunjuk sebagian ahli ilmu, dia mampu mengarah kepada ilmu yang shohih. Akan tetapi ilmu ini tidak nampak pengaruhnya pada akhlak dan tingkah laku serta amalnya.

Maka fenomena yang sedang kita bicarakan ini, sebabnya adalah:

Pertama: bahwa kita belum matang secara ilmu, kecuali beberapa individu yang sedikit.

Kedua: individu-individu itu, kebanyakan darinya tidaklah terdidik dengan pendidikan islam yang shohih. Oleh karenanya engkau bisa temui banyak di antara orang-orang yang baru mulai menuntut ilmu menjadikan dirinya sebagai ketua suatu jamaah atau kelompok. Di sini ada suatu (kata-kata) hikmah terdahulu yang mengungkapkan pengaruh popularitas ini. Kata-kata hikmah itu adalah, cinta popularitas, meruntuhkan popularitas.

Maka ini sebabnya kembali kepada ketiadaan tarbiyah (pendidikan) yang shohih di atas ilmu yang shohih.

Sumber : http://islamancient.com/articles,item,350.html

Tidak ada komentar: