Minggu, 17 April 2011

Hati-hati dari Teman yang Buruk

oleh Abu Abdurrahman pada 07 November 2009 jam 0:20
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:
مَثَلُ الْـجَلِيْسِ الصَّالـِحِ وَالسُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ. فَحَامِلُ الْـمِسْكِ إِمَّا أَنْ يَحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيْحًا خَبِيْثَةً
“Permisalan teman duduk yang baik dan teman duduk yang jelek seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. (Duduk dengan) penjual minyak wangi bisa jadi ia akan memberimu minyak wanginya, bisa jadi engkau membeli darinya dan bisa jadi engkau akan dapati darinya aroma yang wangi. Sementara (duduk dengan) pandai besi, bisa jadi ia akan membakar pakaianmu dan bisa jadi engkau dapati darinya bau yang tak sedap.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa teman dapat memberikan pengaruh negatif ataupun positif sesuai dengan kebaikan atau kejelekannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan teman bergaul atau teman duduk yang baik dengan penjual minyak wangi. Bila duduk dengan penjual minyak wangi, engkau akan dapati satu dari tiga perkara sebagaimana tersebut dalam hadits. Paling minimnya engkau dapati darinya bau yang harum yang akan memberi pengaruh pada jiwamu, tubuh dan pakaianmu. Sementara kawan yang jelek diserupakan dengan duduk di dekat pandai besi. Bisa jadi beterbangan percikan apinya hingga membakar pakaianmu, atau paling tidak engkau mencium bau tak sedap darinya yang akan mengenai tubuh dan pakaianmu.
Dengan demikian jelaslah, teman pasti akan memberi pengaruh kepada seseorang. Dengarkanlah berita dari Al-Qur`an yang mulia tentang penyesalan orang zalim pada hari kiamat nanti karena dulunya ketika di dunia berteman dengan orang yang sesat dan menyimpang, hingga ia terpengaruh ikut sesat dan menyimpang.
وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَالَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلاً. يَاوَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلاً. لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا
“Dan ingatlah hari ketika itu orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata, ‘Aduhai kiranya dulu aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, andai kiranya dulu aku tidak menjadikan si Fulan itu teman akrabku. Sungguh ia telah menyesatkan aku dari Al-Qur`an ketika Al-Qur`an itu telah datang kepadaku.’ Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia.” (Al-Furqan: 27-29)
‘Adi bin Zaid, seorang penyair Arab, berkata:
عَنِ الْـمَرْءِ لاَ تَسْأَلْ وَسَلْ عَنْ قَرِيْنِهِ فَكُلُّ قَرِيْنٍ بِالْـمُقَارَنِ يَقْتَدِي
إِذَا كُنْتَ فِي قَوْمٍ فَصَاحِبْ خِيَارَهُمْ وَلاَ تُصَاحِبِ الْأَرْدَى فَتَرْدَى مَعَ الرَّدِي
Tidak perlu engkau bertanya tentang (siapa) seseorang itu, namun tanyalah siapa temannya
Karena setiap teman meniru temannya
Bila engkau berada pada suatu kaum maka bertemanlah dengan orang yang terbaik dari mereka
Dan janganlah engkau berteman dengan orang yang rendah/hina niscaya engkau akan hina bersama orang yang hina
Karenanya lihat-lihat dan timbang-timbanglah dengan siapa engkau berkawan.

Dampak Teman yang Jelek
Ingatlah, berteman dengan orang yang tidak baik agamanya, akhlak, sifat, dan perilakunya akan memberikan banyak dampak yang jelek. Di antara yang dapat kita sebutkan di sini:
1. Memberikan keraguan pada keyakinan kita yang sudah benar, bahkan dapat memalingkan kita dari kebenaran. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَسَاءَلُونَ. قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ إِنِّي كَانَ لِي قَرِينٌ. يَقُولُ أَئِنَّكَ لَمِنَ الْمُصَدِّقِينَ. أَئِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَعِظَامًا أَئِنَّا لَمَدِينُونَ. قَالَ هَلْ أَنْتُمْ مُطَّلِعُونَ. فَاطَّلَعَ فَرَآهُ فِي سَوَاءِ الْجَحِيمِ. قَالَ تَاللهِ إِنْ كِدْتَ لَتُرْدِينِ. وَلَوْلاَ نِعْمَةُ رَبِّي لَكُنْتُ مِنَ الْمُحْضَرِينَ
Lalu sebagian mereka (penghuni surga) menghadap sebagian yang lain sambil bercakap-cakap. Berkatalah salah seorang di antara mereka, “Sesungguhnya aku dahulu (di dunia) memiliki seorang teman. Temanku itu pernah berkata, ‘Apakah kamu sungguh-sungguh termasuk orang yang membenarkan hari berbangkit? Apakah bila kita telah meninggal dan kita telah menjadi tanah dan tulang belulang, kita benar-benar akan dibangkitkan untuk diberi pembalasan.” Berkata pulalah ia, “Maukah kalian meninjau temanku itu?" Maka ia meninjaunya, ternyata ia melihat temannya itu di tengah-tengah neraka yang menyala-nyala. Ia pun berucap, “Demi Allah! Sungguh kamu benar-benar hampir mencelakakanku. Jikalau tidak karena nikmat Rabbku pastilah aku termasuk orang-orang yang diseret ke neraka.” (Ash-Shaffat: 50-57)
Dengarkanlah kisah wafatnya Abu Thalib di atas kekafiran karena pengaruh teman yang buruk. Tersebut dalam hadits Al-Musayyab bin Hazn, ia berkata, "Tatkala Abu Thalib menjelang wafatnya, datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau dapati di sisi pamannya ada Abu Jahl bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah ibnil Mughirah. Berkatalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallah, kalimat yang dengannya aku akan membelamu di sisi Allah.’ Namun kata dua teman Abu Thalib kepadanya, ‘Apakah engkau benci dengan agama Abdul Muththalib?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus meminta pamannya mengucapkan kalimat tauhid. Namun dua teman Abu Thalib terus pula mengulangi ucapan mereka, hingga pada akhirnya Abu Thalib tetap memilih agama nenek moyangnya dan enggan mengucapkan Laa ilaaha illallah. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Teman yang jelek akan mengajak orang yang berteman dengannya agar mau melakukan perbuatan yang haram dan mungkar seperti dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang munafikin:
وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً
“Mereka menginginkan andai kalian kafir sebagaimana mereka kafir hingga kalian menjadi sama.” (An-Nisa`: 89)

3. Tabiat manusia, ia akan terpengaruh dengan kebiasaan, akhlak, dan perilaku teman dekatnya. Karenanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu menurut agama teman dekat/sahabatnya, maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat dengan siapa ia bersahabat1.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 927)
4. Melihat teman yang buruk akan mengingatkan kepada maksiat sehingga terlintas maksiat dalam benak seseorang. Padahal sebelumnya ia tidak terpikir tentang maksiat tersebut.
5. Teman yang buruk akan menghubungkanmu dengan orang-orang yang jelek, yang akan memudaratkanmu.
6. Teman yang buruk akan menggampangkan maksiat yang engkau lakukan sehingga maksiat itu menjadi remeh/ringan dalam hatimu dan engkau akan menganggap tidak apa-apa mengurangi-ngurangi dalam ketaatan.
7. Karena berteman dengan orang yang jelek, engkau akan terhalang untuk berteman dengan orang-orang yang baik/shalih sehingga terluputkan kebaikan darimu sesuai dengan jauhnya engkau dari mereka.
8. Duduk bersama teman yang jelek tidaklah lepas dari perbuatan haram dan maksiat seperti ghibah, namimah, dusta, melaknat, dan semisalnya. Bagaimana tidak, sementara majelis orang-orang yang jelek umumnya jauh dari dzikrullah, yang mana hal ini akan menjadi penyesalan dan kerugian bagi pelakunya pada hari kiamat nanti. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لَمْ يَذْكُرُوا اللهَ تَعَالَى فِيْهِ، إِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً
“Tidak ada satu kaum pun yang bangkit dari sebuah majelis yang mereka tidak berzikir kepada Allah ta’ala dalam majelis tersebut melainkan mereka bangkit dari semisal bangkai keledai2 dan majelis tersebut akan menjadi penyesalan bagi mereka." (HR. Abu Dawud. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 77)
Demikian… Semoga ini menjadi peringatan!
(Dinukil secara ringkas dengan perubahan dan tambahan oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyah dari kitab Al-Mukhtar lil Hadits fi Syahri Ramadhan, hal. 95-99)

1 Seseorang akan berperilaku seperti kebiasaan temannya dan juga menurut jalan serta perilaku temannya. Maka hendaknya setiap kita merenungkan dan memikirkan dengan siapa kita bersahabat. Siapa yang kita senangi agama dan akhlaknya maka kita jadikan ia sebagai teman, dan yang sebaliknya kita jauhi. Karena yang namanya tabiat akan saling meniru dan persahabatan itu akan berpengaruh baik ataupun buruk. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Az-Zuhd, bab 45)
2 Sama dengan bangkai keledai dalam bau busuk dan kotornya. ('Aunul Ma'bud, kitab Al-Adab, bab Karahiyah An Yaqumar Rajulu min Majlisihi wala Yadzkurullah)
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=717

Tanpa Tauhid, Amal Ibadah Tidaklah Bernilai

oleh Abu Abdurrahman pada 14 November 2009 jam 20:06
tauhid Para pembaca yang semoga selalu mendapatkan taufik dari Allah Ta’ala. Allah menciptakan kita, tidaklah untuk dibiarkan begitu saja. Tidaklah kita diciptakan hanya untuk makan dan minum atau hidup bebas dan gembira semata. Akan tetapi, ada tujuan yang mulia dan penuh hikmah di balik itu semua yaitu melakukan ibadah kepada Sang Maha Pencipta. Ibadah ini bisa diterima hanya dengan adanya tauhid di dalamnya. Jika terdapat noda-noda syirik, maka batallah amal ibadah tersebut.

Tauhid adalah Syarat Diterimanya Ibadah

Perlu pembaca sekalian ketahui bahwa ibadah tidak akan diterima kecuali apabila memenuhi 2 syarat : Pertama, memurnikan ibadah kepada Allah semata (tauhid) dan tidak melakukan kesyirikan. Kedua, mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibadah apapun yang tidak memenuhi salah satu dari kedua syarat ini, maka ibadah tersebut tidak diterima.

Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan,”Sesungguhnya apabila suatu amalan sudah dilakukan dengan ikhlas, namun tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah maka amalan tersebut tidak diterima. Dan apabila amalan tersebut sudah sesuai dengan tuntunan Rasulullah, namun tidak ikhlas, maka amalan tersebut juga tidak diterima, sampai amalan tersebut ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Jaami’ul Ulum wal Hikam)

Ada permisalan yang sangat bagus mengenai syarat ibadah yang pertama yaitu tauhid. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam risalahnya yang berjudul Al Qawa’idul Arba’. Beliau rahimahullah berkata,”Ketahuilah, sesungguhnya ibadah tidaklah disebut ibadah kecuali dengan tauhid (yaitu memurnikan ibadah kepada Allah semata, pen). Sebagaimana shalat tidaklah disebut shalat kecuali dalam keadaan thaharah (baca: bersuci). Apabila syirik masuk dalam ibadah tadi, maka ibadah itu batal. Sebagaimana hadats masuk dalam thaharah.”

Maka setiap ibadah yang di dalamnya tidak terdapat tauhid sehingga jatuh kepada syirik, maka amalan seperti itu tidak bernilai selamanya. Oleh karena itu, tidaklah dinamakan ibadah kecuali bersama tauhid. Adapun jika tanpa tauhid sebagaimana seseorang bersedekah, memberi pinjaman utang, berbuat baik kepada manusia atau semacamnya, namun tidak disertai dengan tauhid (ikhlas mengharap ridha Allah) maka dia telah jatuh dalam firman Allah yang artinya,”Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu bagaikan debu yang beterbangan.” (Al Furqon : 23). (Abrazul Fawa’id)

Tanpa Tauhid, Amal Ibadah Tidaklah Bernilai

Syaikh rahimahullah membuat permisalan yang sangat mudah dipahami dengan permisalan shalat. Tidaklah dinamakan shalat kecuali adanya thaharah yaitu berwudhu. Apabila seseorang tidak dalam keadaan berwudhu lalu melakukan shalat yang banyak, memanjangkan berdiri, ruku’, dan sujudnya, serta memperbagus shalatnya, maka seluruh kaum muslimin sepakat shalatnya tidak sah. Bahkan dia dihukumi telah meninggalkan shalat karena agungnya syarat shalat ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Allah tidak akan menerima shalat seseorang di antara kalian apabila dia berhadats sampai dia berwudhu.”(Muttafaqun ‘alaihi).

Sebagaimana shalat dapat batal karena tidak adanya thaharah, maka ibadah juga bisa batal karena tidak adanya tauhid di dalamnya. Namun syarat ikhlas dan tauhid agar ibadah diterima tentu saja jauh berbeda jika dibanding dengan syarat thaharah agar shalat diterima. Apabila seseorang shalat dalam keadaan hadats dengan sengaja, maka terdapat perselisihan pendapat di antara ulama tentang kafirnya orang ini. Akan tetapi, para ulama tidak pernah berselisih pendapat tentang kafirnya orang yang beribadah pada Allah dengan berbuat syirik kepada-Nya (yaitu syirik akbar) yang dengan ini akan menjadikan tidak ada satu amalnya pun diterima. (Lihat Syarhul Qawa’idil Arba’, Syaikh Sholeh Alu Syaikh)

Syirik Akbar Akan Menghapus Seluruh Amal

Ingatlah saudaraku, seseorang bisa dinyatakan terhapus seluruh amalnya (kafir) bukan hanya semata-mata dengan berpindah agama (alias: murtad). Akan tetapi, seseorang bisa saja kafir dengan berbuat syirik yaitu syirik akbar, walaupun dalam kehidupannya dia adalah orang yang rajin melakukan shalat malam. Apabila dia melakukan satu syirik akbar saja, maka dia bisa keluar dari agama ini dan amal-amal kebaikan yang dilakukannya akan terhapus. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,”Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al An’am: 88). Apabila dia tidak bertaubat darinya maka diharamkan baginya surga, sebagaimana firman-Nya yang artinya,”Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (Al Maidah: 72)

Contoh syirik akbar adalah melakukan tumbal berupa sembelihan kepala kerbau, kemudian di-larung (dilabuhkan) di laut selatan agar laut tersebut tidak ngamuk (yang kata pelaku syirik: tumbal tersebut dipersembahkan kepada penguasa laut selatan yaitu jin Nyi Roro Kidul). Padahal menyembelih merupakan salah satu aktivitas ibadah karena di dalamnya terkandung unsur ibadah yaitu merendahkan diri dan tunduk patuh. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,”Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” (Al An’am: 162). Barangsiapa yang memalingkan perkara ibadah yang satu ini kepada selain Allah maka dia telah jatuh dalam perbuatan syirik akbar dan pelakunya keluar dari Islam. (Lihat At Tanbihaat Al Mukhtashot Syarh Al Wajibat)

Syirik Ashgar Dapat Menghapus Amal Ibadah

Jenis syirik yang berada di bawah syirik akbar dan tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam adalah syirik ashgar (syirik kecil). Walaupun dinamakan syirik kecil, akan tetapi tetap saja dosanya lebih besar dari dosa besar seperti berzina dan mencuri. Salah satu contohnya adalah riya’ yaitu memamerkan amal ibadah untuk mendapatkan pujian dari orang lain. Dosa ini yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat khawatirkan akan menimpa para sahabat dan umatnya. Pada kenyataannya banyak manusia yang terjerumus di dalam dosa syirik yang satu ini. Banyak orang yang mengerjakan shalat dan membaca Al Qur’an ingin dipuji dengan memperlihatkan ibadah yang mulia ini kepada orang lain. Tatkala orang lain melihatnya, dia memperpanjang ruku’ dan sujudnya dan dia memperbagus bacaannya dan menangis dengan dibuat-buat. Semua ini dilakukan agar mendapat pujian dari orang lain, agar dianggap sebagai ahli ibadah dan Qori’ (mahir membaca Al Qur’an).

Wahai saudaraku, waspadalah terhadap jerat setan yang dapat membatalkan amal ibadahmu ini!! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,”Allah berfirman: Aku itu paling tidak butuh sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan lantas dia mencampurinya dengan berbuat syirik di dalamnya dengan selain-Ku, maka Aku akan tinggalkan dia bersama amal syiriknya itu.” (HR. Muslim). Apabila ibadah yang dilakukan murni karena riya’, maka amal tersebut batal. Namun apabila riya’ tiba-tiba muncul di pertengahan ibadah lalu pelakunya berusaha keras untuk menghilangkannya, maka hal ini tidaklah membatalkan ibadahnya. Namun apabila riya’ tersebut tidak dihilangkan, malah dinikmati, maka hal ini dapat membatalkan amal ibadah.

Wahai saudaraku, bersikaplah sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam -kekasih Allah yang bersih tauhidnya dari perbuatan syirik-. Beliau masih berdo’a kepada Allah :”Jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala.” (Ibrahim: 35). Jika beliau yang sempurna tauhidnya saja masih takut terhadap syirik, tentu kita semua yang miskin ilmu dan iman tidak boleh merasa aman darinya. Ibrahim At Taimi berkata: ”Dan siapakah yang lebih merasa aman tertimpa bala’ (yaitu syirik) setelah Nabi Ibrahim.” Tidaklah seseorang merasa aman dari syirik kecuali dia adalah orang yang paling bodoh tentang syirik. (Fathul Majid)

Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedang kami mengetahuinya dan kami memohon ampunan kepada-Mu atas sesuatu yang kami tidak mengetahuinya.



Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com/

Hak-Hak Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- Yang Terabaikan

oleh Abu Abdurrahman pada 20 November 2009 jam 8:20
Sesungguhnya Allah telah menciptakan seluruh makhluk untuk sesuatu yang mulia dan tidak main-main sebagaimana Dia jelaskan dalam firmanNya:

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ تُرْجَعُونَ

Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami? (QS Al Mukminun: 115)

Tujuan penciptaan tersebut dijelaskan dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an. Diantaranya:
1. Firman Allah:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Mulk: 2)

2. Firman Allah:

وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَلَئِنْ قُلْتَ إِنَّكُمْ مَبْعُوثُونَ مِنْ بَعْدِ الْمَوْتِ لَيَقُولَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَا إِلاَّ سِحْرٌ مُبِينٌ

Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah), “Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati”, niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata, “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata”. (QS. Hud: 7)

3. Firman Allah:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Jelaslah hikmah penciptaan mereka adalah untuk ujian dengan beribadah kepada Allah sehingga akan dibalas yang berbuat baik dengan kebaikan dan yang berbuat buruk dengan siksaan. Inilah hikmah penciptaan mereka dan kebangkitan mereka setelah kematian.

Oleh karena itu, Allah tidak membiarkan mereka begitu saja tanpa petunjuk, namun Allah mengutus para Rasul kepada mereka untuk menjelaskan petunjuk Allah agar mereka dapat lulus dalam ujian tersebut. Sudah menjadi sunnatullah, pengutusan para Rasul kepada seluruh umat manusia untuk menegakkan petunjuk dan hujjahNya sebagaimana dijelaskan dalam firmanNya:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلاَلَةُ فَسِيرُوا فِي اْلأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu.” Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (QS. An-Nahl: 36)

Dan firman Allah:

إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَإِنْ مِنْ أُمَّةٍ إِلاَّ خَلاَ فِيهَا نَذِيرٌ

Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan. (QS. Fathir: 24)

Serta firmanNya:

رُسُلا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisaa`:165)

Jadilah para Rasul sebagai perantara dan utusan Allah dalam penyampaian perintah dan laranganNya serta bimbingan kepada manusia guna mencapai kemaslahatan dunia dan akhiratnya.

Setelah itu Allah menjadikan Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para Nabi dan Rasul dan diutus kepada seluruh umat manusia. Lalu Allah sempurnakan agama Islam dengannya. Rasululloh Muhammad shallallohu ‘alaihi wa sallam diutus dikala kekufuran telah menguasai dunia dan agama telah banyak dilupakan manusia. Lalu beliau berjuang mengembalikan iman yang telah hilang dan melenyapkan kesyirikan dan kekufuran berupa penyembahan berhala (paganisme), penyembahan api dan salib. Sehingga tegaklah tonggak agama yang Allah ridhoi dan merendahlah kaum kafir dari ahli kitab dan musyrikin.

Allah berfirman:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

Dia-lah yang mengutus Rasulnya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci. (QS. Shoff: 9)

Demikianlah Allah mengutus Muhammad shallallohu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat dan nikmat yang paling agung bagi manusia. Allah berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya: 107)

Dan firmanNya:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ

Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya kelembah kebinasaan. (QS. Ibrohim: 28)

Mereka adalah orang-orang yang tidak beriman kepada Rasululloh shallallohu ‘alaihi wa sallam . Sehingga dengan demikian kerasulan beliau shallallohu ‘alaihi wa sallam adalah nikmat yang teragung yang Allah anugerahkan kepada hambaNya.

Umat Islam dan Nabi Muhammad shallallohu ‘alaihi wa sallam.

Allah telah memuliakan umat Islam ini dengan nabi Muhammad shallallohu ‘alaihi wa sallam yang merupakan penutup para nabi, imam orang-orang yang bertaqwa, sayyid bani Adam dan pemilik keutamaan dan keistimewaan yang tidak dimiliki selainnya. Lalu ditambah lagi dengan beraneka ragam keistimewaan yang lain. Bahkan mereka diberi dua bagian dari rahmatNya, sebagaimana firmanNya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآَمِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيَجْعَلْ لَكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (28) لِئَلاَّ يَعْلَمَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَلاَّ يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَأَنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (29

Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertaqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Kami terangkan yang demikian itu) supaya ahli kitab mengetahui bahwa mereka tiada mendapat sedikit pun akan karunia Allah (jika mereka tidak beriman kepada Muhammad), dan bahwasannya karunia itu adalah di tangan Allah. Dia berikan karunia itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. Al-Hadid: 28-29)

Hal ini juga dijelaskan Rasululoh shallallohu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:

إِنَّمَا أَجَلُكُمْ فِي أَجَلِ مَنْ خَلاَ مِنْ اْلأُمَمِ مَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعَصْرِ إِلَى مَغْرِبِ الشَّمْسِ وَإِنَّمَا مَثَلُكُمْ وَمَثَلُ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى كَرَجُلٍ اسْتَعْمَلَ عُمَّالاً فَقَالَ مَنْ يَعْمَلُ لِي إِلَى نِصْفِ النَّهَارِ عَلَى قِيرَاطٍ قِيرَاطٍ فَعَمِلَتْ الْيَهُودُ إِلَى نِصْفِ النَّهَارِ عَلَى قِيرَاطٍ قِيرَاطٍ ثُمَّ قَالَ مَنْ يَعْمَلُ لِي مِنْ نِصْفِ النَّهَارِ إِلَى صَلاَةِ الْعَصْرِ عَلَى قِيرَاطٍ قِيرَاطٍ فَعَمِلَتْ النَّصَارَى مِنْ نِصْفِ النَّهَارِ إِلَى صَلاَةِ الْعَصْرِ عَلَى قِيرَاطٍ قِيرَاطٍ ثُمَّ قَالَ مَنْ يَعْمَلُ لِي مِنْ صَلاَةِ الْعَصْرِ إِلَى مَغْرِبِ الشَّمْسِ عَلَى قِيرَاطَيْنِ قِيرَاطَيْنِ أَلاَ فَأَنْتُمْ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ مِنْ صَلاَةِ الْعَصْرِ إِلَى مَغْرِبِ الشَّمْسِ عَلَى قِيرَاطَيْنِ قِيرَاطَيْنِ أَلاَ لَكُمْ اْلأَجْرُ مَرَّتَيْنِ فَغَضِبَتْ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالُوا نَحْنُ أَكْثَرُ عَمَلاً وَأَقَلُّ عَطَاءً قَالَ اللَّهُ هَلْ ظَلَمْتُكُمْ مِنْ حَقِّكُمْ شَيْئًا قَالُوا لاَ قَالَ فَإِنَّهُ فَضْلِي أُعْطِيهِ مَنْ شِئْتُ

Sesungguhnya ajal (usia) kalian dibanding ajal (usia) umat-umat terdahulu seperti antara sholat ‘Ashr sampai terbenam matahari. Sesungguhnya permisalan kalian dengan Yahudi dan Nashrani seperti seseorang mempekerjakan buruh. Lalu ia berkata: Siapa yang bekerja untukku sampai tengah hari dengan bayaran satu Qiraath. Maka Yahudi bekerja sampai pertengahan hari dengan mendapat satu qiraath. Kemudian ia berkata: Siapa yang bekerja untukku dari pertengahan hari sampai sholat ‘Ashr dengan bayaran satu qiraath. Lalu Nashrani mengerjakannya dari pertengahan hari sampai sholat ‘Ashr dengan bayaran satu qiraath. Kemudia ia berkata lagi: Siapa yang bekerja untukku dari sholat ‘Ashr sampai terbenam matahari dengan bayaran dua qiraath? Ketahuilah kalianlah yang bekerja dari shoat ‘Ashr sampai terbenam matahari dengan bayaran dua qiraath. Ketahuilah kalian mendapat pahala dua kali lipat. Lalu Yahudi dan Nashrani protes, mereka berkata: Kamilah yang lebih banyak amalannya namun lebih sedikit pemberiannya. Allah berfirman: Apakah Aku telah menzholimi kalian sesuatu dari hak kalian? Mereka menjawab: Tidak. Allah berfirman lagi: Sungguh keutamaanKu Aku berikan kepada siapa yang Aku sukai. (HR al-Bukhori).

Ibnu Katsir rahimahulloh menyatakan, “Yang dimaksud dari penyerupaan dengan buruh ini adalah perbedaan upah mereka. Dan itu bukanlah bersumber dari banyak dan sedikitnya amalan, bahkan dengan sebab yang lain disisi Allah. Berapa banyak amalan sedikit lebih pantas mendapatkan (pahala besar) dari suatu amalan yang banyak. Lihatlah malam Qadar! Amalan pada malam itu lebih utama dari ibadah seribu bulan yang tidak ada malam Qadarnya. Mereka para sahabat Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam telah berinfak pada waktu-waktu, seandainya selain mereka (setelah itu) berinfak emas seperti gunung uhud tentulah tidak akan menyamai satu mud kurma salah seorang mereka dan tidak pula separuhnya. Demikian juga Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam diutus menjadi Nabi dalam usia empat puluh tahun dan meninggal dunia pada usia enam puluh tiga tahun menurut pendapat yang masyhur. Dalam kurun waktu yang hanya dua puluh tiga tahun ini telah menampakkan ilmu yang manfaat dan amal sholih yang mengalahkan seluruh para nabi sebelumnya hingga nabi Nuh yang telah tinggal berdakwah pada kaumnya sembilan ratus lima puluh tahun mengajak mereka untuk beribadah hanya kepada Allah dan tidak berbuat syirik. Nabi Nuh juga beramal ketaatan kepada Allah siang malam, pagi dan sore. Umat ini dimuliakan dan dilipat gandakan pahalanya hanya karena barokah kepemimpinan, kemuliaan dan keagungan Nabi mereka, seperti dijelaskan dalam firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآَمِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيَجْعَلْ لَكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (28) لِئَلاَّ يَعْلَمَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَلاَّ يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَأَنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (29

Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertaqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Kami terangkan yang demikian itu) supaya ahli kitab mengetahui bahwa mereka tiada mendapat sedikit pun akan karunia Allah (jika mereka tidak beriman kepada Muhammad), dan bahwasannya karunia itu adalah di tangan Allah. Dia berikan karunia itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. Al-Hadid: 28-29)” [Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir 2/146]

Demikianlah Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam diutus membawa petunjuk sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, sehingga menjadi nikmat yang agung bagi umat manusia. Oleh karena itu Allah menjelaskan nikmat ini dalam bebrapa ayat al-Qur’an diantaranya:

1. Firman Allah:

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُبِينٍ

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. Ali ‘Imran: 164)

2. Firman Allah :

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي اْلأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُبِينٍ (2) وَآَخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (3) ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (4

Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. Dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang bersar. (QS. Al-Jumu’ah: 2-4)

3. Firman Allah:

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آَيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ (151) فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ

Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS. Al-Baqarah: 151-152)

4. Firman Allah :

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min. (QS. At-Taubah: 128)

Pengutusan Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam kepada manusia seluruhnya menjadi nikmat yang paling agung karena menjadi sebab terhindarnya orang-orang yang mendapat petunjuk, dari adzab yang kekal. Itu semua dengan sebab iman kepada Allah dan RasulNya shollallohu ‘alaihi wa sallam serta menjauhi semua yang mengantar kepada neraka dan kekekalan disana.

Oleh karena itu, kebutuhan manusia akan iman kepada Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan mengamalkan semua yang dibawa beliau berupa agama ini melebihi kebutuhan mereka terhadap makan dan minum, bahkan kepada udara yang menjadi sumber pernafasan mereka. Karena mereka ketika kehilangan petunjuk tersebut maka neraka adalah balasan orang yang mendustakan Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan berpaling dari ketaatan kepadanya. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:

فَأَنْذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّى (14) لاَ يَصْلاَهَا إِلاَّ اْلأَشْقَى (15) الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّى (16

Maka, Kami memperingatkan kamu dengan api yang menyala-nyala. Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan (berpaling) dari iman. (QS. Al-Lail: 14-16)

Karena demikian tinggi kedudukan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam di sisi Allah dan mendesaknya kebutuhan manusia yang demikian tingginya, maka Allah mewajibkan kepada umat ini kewajiban dan hak-hak yang mengatur ikatan dan hubungan antara mereka dengan Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Hak-hak ini ada yang berhubungan dengan risalah kerasulannya dan ada yang berhubungan dengan pribadi beliau langsung.

Namun ironisnya, dizaman ini banyak sekali kaum muslimin yang tidak mengetahui hak-hak beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam, sehingga tampak muncul dua kelompok yang ekstrim dan saling bertentangan.

* Pertama adalah kelompok kaum muslimin yang tidak memberikan perhatian secara proporsional terhadap hak-hak ini sehingga mereka seakan-akan tidak pernah perhatian terhadap hak-hak tersebut.
* Kedua adalah kelompok yang ekstrim berlebihan sehingga tercebur dalam kubangan kebid’ahan. Mereka menganggap amalan mereka adalah yang terbaik dan sempurna dalam menunaikan hak-hak tersebut dan menuduh selainnya tidak menunaikannya.

Kedua kelompok ini salah dan menyimpang dari jalan yang lurus.

Oleh karena itu sudah seharusnya kita kembali belajar tentang hak-hak Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan Sunnah serta telah dijelaskan para salaf (pendahulu) umat ini dan para imam-imam besar umat ini. Semoga dengan demikian dapat dijelaskan hak-hak tersebut dengan jelas, gamblang dan benar kepada masyarakat dan diamalkan dalam sisi kehidupan mereka.

Penulis: Ust. Kholid Syamhudi, Lc.

Dampak Buruk Makanan Haram Bagi Seorang Muslim

oleh Abu Abdurrahman pada 20 November 2009 jam 8:33
Era globalisasi banyak berpengaruh pada kehidupan seorang muslim, sadar atau tidak sadar mereka terseret ke dalam arusnya. Sehingga dijumpai banyak orang menyatakan: “Yang haram aja susah apalagi yang halal.” Satu ungkapan yang menggambarkan rendahnya kondisi keimanan dan keyakinan mereka terhadap rahmat dan rizki Allah. Padahal Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan dengan sangat tandas sekali bahwa Allah akan mencukupkan rizki mereka dan tidak membebankan hal itu kepada pundak mereka. Sebagaimana dijelaskan dalam firmanNya:

وَكَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لا تَحْمِلُ رِزْقَهَا اللَّهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rizkinya sendiri.Allah-lah yang memberi rizki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Ankabut: 60)

dan firman-Nya

مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ

“Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan.” (QS. Adz Dzariyat:57)

Dalam dua ayat di atas jelaslah Allah sebagai pemberi rizki kepada semua makhluknya, lalu Ia mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghalalkan yang baik-baik dan mengharamkan yang buruk dan jelek bagi manusia, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوباً عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْأِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al a’raf:157)

Makanlah yang halal dan baik saja

Setelah mengetahui yang dihalalkan Allah adalah semua yang baik dan sebaliknya yang diharamkan semuanya pasti buruk, apalagi yang menjadi halangan menghindari yang haram dan hanya mengambil yang halal saja?

Tinggal kita laksanakan saja perintah Allah untuk memakan yang halal dan baik dan tidak mengikuti jejak dan ajakan syeitan yang mengajak kepada keburukan dan kesengsaraan. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلالاً طَيِّباً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan; karena sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah:168)

Karena hal ini merupakan wujud syukur kita kepada Allah yang telah memberikan rizki-Nya yang luas dan banyak. Sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada Allah kamu menyembah.” (QS. Al Baqarah:172)

Apabila kita bersyukur, Allah akan menambah anugerah-Nya. Jangan sekali-kali kita ingkar terhadap nikmat Allah dan melampaui batas, sebab jika kita ingkar terhadap nikmat Allah maka kebinasaan ada di hadapan kita.

Allah berfirman:

كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَلا تَطْغَوْا فِيهِ فَيَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبِي وَمَنْ يَحْلِلْ عَلَيْهِ غَضَبِي فَقَدْ هَوَى

“Makanlah di antara rezki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia.” (QS. Thaaha:81)

Pentingnya makan yang halal dan bahaya makan yang haram

Permasalahan halal dan haram sangat penting sekali bagi seorang muslim, dan ini ditunjukkan langsung dengan pengaitan Allah Subhanahu wa Ta’ala antara makanan yang baik dengan amal shalih dan ibadah. Di dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Muslim dan yang lainnya, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik, tidak menerima kecuali yang baik, dan bahwa Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin dengan apa yang diperintahkannya kepada para rasul dalam firman-Nya: ‘Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’” (Qs. al-Mu’minun: 51).

Dan Ia berfirman, (yang artinya)“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (Qs. al-Baqarah: 172). Kemudian beliau menyebutkan seorang laki-laki yang kusut warnanya seperti debu mengulurkan kedua tangannya ke langit sambil berdo’a: ‘Ya Rabb, Ya Rabb,’ sedang makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, ia kenyang dengan makanan yang haram, maka bagaimana mungkin orang tersebut dikabulkan permohonannya?!”1

Dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa makanan yang dimakan seseorang mempengaruhi diterima dan tidaknya amal shalih seseorang. Hal ini tentunya cukup membuat kita memberikan perhatiaan yang serius dan berhati-hati dalam permasalahan ini.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa amal tidak diterima dan tidak suci kecuali dengan memakan makanan yang halal. Sedangkan memakan makanan yang haram dapat merusak amal perbuatan dan membuatnya tidak diterima”2.

Hal ini sangat berbahaya sekali, perhatikan lagi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain:
أَيَّمَا عَبْدٍ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

“Siapa saja hamba yang dagingnya tumbuh dari (makanan) haram maka Neraka lebih pantas baginya.”3

Mudah-mudahan hal ini membuat kita lebih berhati-hati. Wallahu Al Muwaffiq.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Yakinlah! Dibalik Kesulitan, Ada Kemudahan Yang Begitu Dekat

oleh Abu Abdurrahman pada 20 November 2009 jam 8:51
Seringkali kita berputus asa tatkala mendapatkan kesulitan atau cobaan. Padahal Allah telah memberi janji bahwa di balik kesulitan, pasti ada jalan keluar yang begitu dekat.

Dalam surat Alam Nasyroh, Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. An Nasyr: 5)

Ayat ini pun diulang setelah itu,

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. An Nasyr: 6)

Mengenai ayat di atas, ada beberapa faedah yang bisa kita ambil:

Pertama: Di balik satu kesulitan, ada dua kemudahan

Kata “al ‘usr (kesulitan)” yang diulang dalam surat Alam Nasyroh hanyalah satu. Al ‘usr dalam ayat pertama sebenarnya sama dengan al ‘usr dalam ayat berikutnya karena keduanya menggunakan isim ma’rifah (seperti kata yang diawali alif lam). Sebagaimana kaedah dalam bahasa Arab, “Jika isim ma’rifah diulang, maka kata yang kedua sama dengan kata yang pertama, terserah apakah isim ma’rifah tersebut menggunakan alif lam jinsi ataukah alif lam ‘ahdiyah.” Intinya, al ‘usr (kesulitan) pada ayat pertama sama dengan al ‘usr (kesulitan) pada ayat kedua.

Sedangkan kata “yusro (kemudahan)” dalam surat Alam Nasyroh itu ada dua. Yusro (kemudahan) pertama berbeda dengan yusro (kemudahan) kedua karena keduanya menggunakan isim nakiroh (seperti kata yang tidak diawali alif lam). Sebagaimana kaedah dalam bahasa Arab, “Secara umum, jika isim nakiroh itu diulang, maka kata yang kedua berbeda dengan kata yang pertama.” Dengan demikian, kemudahan itu ada dua karena berulang.[1] Ini berarti ada satu kesulitan dan ada dua kemudahan.

Dari sini, para ulama pun seringkali mengatakan, “Satu kesulitan tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan.” Asal perkataan ini dari hadits yang lemah, namun maknanya benar[2]. Jadi, di balik satu kesulitan ada dua kemudahan.

Note: Mungkin sebagian orang yang belum pernah mempelajari bahasa Arab kurang paham dengan istilah di atas. Namun itulah keunggulan orang yang paham bahasa Arab, dalam memahami ayat akan berbeda dengan orang yang tidak memahaminya. Oleh karena itu, setiap muslim hendaklah membekali diri dengan ilmu alat ini. Di antara manfaatnya, seseorang akan memahami Al Qur’an lebih mudah dan pemahamannya pun begitu berbeda dengan orang yang tidak paham bahasa Arab. Semoga Allah memberi kemudahan.

Kedua: Akhir berbagai kesulitan adalah kemudahan

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, “Kata al ‘usr (kesulitan) menggunakan alif-lam dan menunjukkan umum (istigroq) yaitu segala macam kesulitan. Hal ini menunjukkan bahwa bagaimana pun sulitnya, akhir dari setiap kesulitan adalah kemudahan.”[3] Dari sini, kita dapat mengambil pelajaran, “Badai pastilah berlalu (after a storm comes a calm), yaitu setelah ada kesulitan pasti ada jalan keluar.”

Ketiga: Di balik kesulitan, ada kemudahan yang begitu dekat

Dalam ayat di atas, digunakan kata ma’a, yang asalnya bermakna “bersama”. Artinya, “kemudahan akan selalu menyertai kesulitan”. Oleh karena itu, para ulama seringkali mendeskripsikan, “Seandainya kesulitan itu memasuki lubang binatang dhob (yang berlika-liku dan sempit, pen), kemudahan akan turut serta memasuki lubang itu dan akan mengeluarkan kesulitan tersebut.”[4] Padahal lubang binatang dhob begitu sempit dan sulit untuk dilewati karena berlika-liku (zig-zag). Namun kemudahan akan terus menemani kesulitan, walaupun di medan yang sesulit apapun.

Allah Ta’ala berfirman,

سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

“Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath Tholaq: 7) Ibnul Jauziy, Asy Syaukani dan ahli tafsir lainnya mengatakan, “Setelah kesempitan dan kesulitan, akan ada kemudahan dan kelapangan.”[5] Ibnu Katsir mengatakan, ”Janji Allah itu pasti dan tidak mungkin Dia mengingkarinya.”[6]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً

“Bersama kesulitan, ada kemudahan.”[7] Oleh karena itu, masihkah ada keraguan dengan janji Allah dan Rasul-Nya ini?

Rahasia Mengapa di Balik Kesulitan, Ada Kemudahan yang Begitu Dekat

Ibnu Rajab telah mengisyaratkan hal ini. Beliau berkata, “Jika kesempitan itu semakin terasa sulit dan semakin berat, maka seorang hamba akan menjadi putus asa dan demikianlah keadaan makhluk yang tidak bisa keluar dari kesulitan. Akhirnya, ia pun menggantungkan hatinya pada Allah semata. Inilah hakekat tawakkal pada-Nya. Tawakkal inilah yang menjadi sebab terbesar keluar dari kesempitan yang ada. Karena Allah sendiri telah berjanji akan mencukupi orang yang bertawakkal pada-Nya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. Ath Tholaq: 3).”[8] Inilah rahasia yang sebagian kita mungkin belum mengetahuinya. Jadi intinya, tawakkal lah yang menjadi sebab terbesar seseorang keluar dari kesulitan dan kesempitan.

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk golongan orang yang sabar dalam menghadapi setiap ketentuan-Mu. Jadikanlah kami sebagai hamba-Mu yang selalu bertawakkal dan bergantung pada-Mu. Amin Ya Mujibas Saa-ilin.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.



-Begitu nikmat setiap hari dapat menggali faedah dari sebuah ayat. Semoga hati ini tidak lalai dari mengingat-Nya-



Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com/

Senin, 04 April 2011

Musuh tetaplah musuh, bukan sebagai teman, apalagi sebagai pembimbing.

oleh Abu Abdurrahman pada 20 November 2009 jam 9:01
Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
Bismillaahirrohmaanirrohiim.....

Musuh-musuh Manusia
Jumat, 19 Mei 06

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ

يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا
فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.


Ikhwani arsyadanillahu wa iyyakum ajmai’in

Kita memahami, bahwa Allah Subhananhu wa Ta’ala menciptakan fitrah dalam diri manusia, yaitu dapat mengetahui dan mengenal kebenaran, serta menjauhi dan menghindari kebathilan. Namun bukan berarti bahwa mengamalkan al haq atau menghindari kebathilan adalah sesuatu yang mudah.

Ada beberapa rintangan dan hambatan yang menjadi ujian. Ada musuh yang selalu menghalangi dari jalan al haq. Dan sebaliknya ada musuh yang selalu berusaha membimbing ke arah yang bathil.

Musuh-musuh ini memberikan gambaran tentang kebenaran dan kebathilan al haq, yang semestinya indah, menjanjikan kebaikan dan membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, digambarkan oleh musuh manusia sebagai sesuatu yang menakutkan dan menyusahkan.

Sebaliknya yang bathil, yang mestinya menjijikkan dan berujung pada penderitaan, digambarkan oleh musuh manusia sebagai keindahan nan menyenangkan. Akhirnya banyak orang yang terpedaya, meninggalkan jalan yang benar dan mengikuti jalan yang bathil, iyadzan billah.

Karenanya, wahai saudara-saudaraku, rahimanillahu wa iyyakum ajma’in, kita perlu mengetahui musuh-musuh itu, agar dapat bersikap. Musuh tetaplah musuh, bukan sebagai teman, apalagi sebagai pembimbing. Siapakah musuh-musuh yang selalu berusaha mengajak manusia kepada perbuatan batil dan keliru?

Ikhwani arsyadanillahu wa iyyakum ajmai’in

Musuh yang pertama adalah setan. Berbagai macam cara ditempuh oleh setan untuk menjerumuskan manusia ke dalam kebathilan dan menghalangi manusia dari al haq (kebenaran). Dan setan ini sering berhasil menjadikan manusia sebagai pengikutnya. Hanya orang-orang ikhlas dalam ibadahnya yang selamat dari makar dan tipu daya setan. Hanya orang-orang yang beriman yang bisa menjadikan kita termasuk orang-orang beriman yang ikhlas dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Ikhwani arsyadanillahu wa iyyakum ajmai’in

Di awal kitab Madarijus Salikin dan Al Bada-I, pada akhir pembahasan tafsir surat al Mu’awwidzatain (surat an Nas dan al Falaq), Ibnul Qayyim Rahimahullahu menyebutkan cara-cara dan tahapan setan dalam menghembuskan kejahatan dan tipuan kepada manusia.

Tahapan Pertama, setan mengajak manusia melakukan perbuatan kufur dan syirik, menentang Allah dan RasulNya. Inilah yang paling diinginkan oleh setan. Dengan cara ini, setan telah berhasil menyesatkan banyak orang. Dengan cara ini, manusia dijadikan sebagai tentara dan para abdinya. Jika setan putus asa dan tidak mampu menyeret manusia ke dalam perbuatan kufur, maka setan akan mencoba menggodanya dengan tahapan berikutnya.

Tahapan Kedua, yaitu setan mengajak manusia untuk mengamalkan perbuatan bid’ah dalam agama, baik bid’ah dalam masalah aqidah maupun amal perbuatan.

Bid’ah merupakan perbuatan dosa, yang pelakunya sulit diharapkan bertaubat. Setan memberi gambaran yang indah dalam benak manusia, bahwa apa yang dilakukan itu merupakan kebenaran, dan ahli bid’ah mempercayai bisikan setan ini. Karena anggapan yang baik atas perbuatan bid’ah, membuat pelakunya susah melepaskan diri dan bertaubat dari perbuatan yang dianggap baik ini, padahal sebenarnya menyesatkan.

Ketika berhasil menyeret seseorang ke dalam tahapan ini, maka setan akan merasa lega. Karena perbuatan bid’ah merupakan gerbang menuju kekufuran. Dan para pembuat bid’ah menjadi salah satu corong di antara propaganda iblis.

Ikhwani arsyadanillahu wa iyyakum ajmai’in

Jika setan tidak mampu menyeretnya ke dalam perbuatan bid’ah, maka dia akan menjebak dan menggiring manusia kepada tahapan ketiga, yaitu perbuatan dosa besar dengan berbagai macam variasinya.

Dosa-dosa besar ini juga merupakan gerbang menuju kekufuran. Setan berhasil menjerumuskan banyak orang ke dalam dosa besar. Manusia tenggelam dalam perbuatan maksiat, sehingga hatinya menjadi membatu, terhalang dari kebenaran. Kemudian setan menyebarkan berita tentang mereka ini di tengah masyarakat. Setan memanfaatkan tentara dan para abdinya untuk menyebarkan perbuatan dosa ini, terutama jika perbuatan dosa ini dilakukan oleh penguasa atau orang yang diidolakan. Tujuannya supaya perbuatan-perbuatan mereka dijadikan argumen.

Sebagai misal, yaitu makan riba, mendengarkan musik, menikmati alat-alat musik dan permainan, menyetujui perbuatan bersolek, membuka wajah dan ikhtilath (campur baur) laki-laki dan perempuan, loyal dan suka kepada orang-orang kafir, homoseks, meminum khamr, dan lain sebagainya.

Dalam tahapan ini, setan berhasil menyesatkan banyak orang. Banyak manusia terkubang dalam kemungkaran-kemungkaran. Setan menghiasi amal-amal para idola ini, sehingga mereka menjadi pioner yang mengajak ke perbuatan maksiat secara nyata, atau mungkin dengan ucapan.

Sedangkan orang yang tidak mampu digoda setan dan dijaga oleh Allah dari perbuatan dosa-dosa besar, maka setan berusaha menyeretnya ke tahap keempat, yaitu melakukan dosa-dosa kecil, sebagai gerbang memasuki dosa-dosa besar. Dosa-dosa kecil ini terkadang dianggap remeh oleh manusia dan tidak peduli dengan pelakunya. Padahal dosa-dosa kecil itu menyeret untuk melakukan dosa berikutnya.

Diceritakan dalam sebuah hadits dari Sahl bin Sa’d, dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Jauhilah dosa-dosa kecil, karena jika dosa-dosa itu berkumpul pada diri seseorang akhirnya akan membuatnya binasa (celaka).

Maka tidak diragukan lagi, meremehkan perbuatan dosa kecil, bisa merubah dosa kecil menjadi besar. Sebagaimana perkataan ulama salaf, tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus-menerus, dan tidak ada dosa besar jika diiringi dengan istighfar.

Sebagian yang lain mengatakan, janganlah kalian memandang kecil sebuah dosa, akan tetapi pandanglah keagungan Dzat yang kalian durhakai.


Ikhwani arsyadanillahu wa iyyakum ajmai’in

Jika setan merasa lemah and tidak mampu menjerumuskan manusia ke dalam perbuatan-perbuatan dosa ini, maka setan menggoda manusia dengan tahapan kelima. Yaitu menyibukkan manusia dengan perkara-perkara mubah yang tidak mendatangkan pahala, dan juga tidak mengakibatkan dosa. Menyibukkan perkara-perkara mubah, berarti menyia-nyiakan waktu dan usia, tidak memanfaatkannya dengan kebaikan dan perbuatan shalih.

Betapa banyak manusia tertipu dengan perkara-perkara mubah, berlebih-lebihan dalam makanan, minum, rumah, pakaian. Demi keperluan ini, manusia telah menyia-nyiakan sejumlah harta, usia dan waktu, lalai dengan kebaikan, tidak berlomba-lomba dalam kebaikan. Sehingga, perbuatan mubah ini bisa menjadi penyebab seseorang lupa kepada akhirat, dan lupa melakukan persiapan untuk menyongsongnya.

Sedangkan manusia yang tidak bisa dijerumuskan dengan tahapan ini, maka setan akan mengganggunya dengan tahapan keenam, yaitu mengalihkan perhatian perhatian manusia dari amalan-amalan yang lebih baik kepada amalan yang dibawahnya. Sebagai misal, seseorang akan menggunakan harta untuk hal-hal yang bernilai baik tetapi kurang. Disibukkan dengan amalan-amalan marjuh (bernilai baik tetapi kurang), sehingga (salah satu wujudnya) mempelajari ilmu-ilmu yang tidak memiliki urgensitas dan kehilangan ilmu yang banyak.

Inilah tipu daya setan. Saat setan merasa lemah dan tidak mampu menjerat sebagian manusia dalam perangkap-perangkap ini, maka setan memberikan kuasa kepada wali-walinya dan para abdinya dari kalangan jin dan manusia, serta orang yang tertipu dengan bisikannya. Lalu mereka menghina orang-orang baik ini dengan tujuan menyakiti wali dan para kekasih Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka menyiksanya dengan siksa yang buruk, seperti pembunuhan, pengusiran, penahanan, penyiksaan, penghinaan, pelecehan terhadap amalan-amalan orang-orang baik ini, sebagaimana kejadian yang dialami oleh para nabi Allah dan pengikutnya pada setiap waktu dan di semua tempat.

Semoga Allah melindungi kita dari semua makar dan tipu daya setan.

Ikhwani arsyadanillahu wa iyyakum ajmai’in

Musuh manusia yang kedua, adalah nafsu yang senantiasa mengajak kepada keburukan.

Hawa nafsu ini cenderung kepada kebathilan, menghalangi manusia agar tidak menerima kebenaran dan tidak mengamalkannya. Jika jiwa ini muthmainnah (tenang dalam kebenaran), lebih mengutamakan yang hak, maka dia akan membimbing manusia ke arah yang benar dan berjalan di atas jalan keselamatan.

Musuh manusia yang ketiga, adalah menjadikan hawa nafsu ini sebagai ilah, yaitu menjadikan hawa nafsu sebagai sesembahan selain Allah. Disebutkan dalam firman Allah:

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya (sesembahannya). Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? (Qs. Al Furqan : 43).

Seseorang yang selalu memperturutkan segala keinginannya, ia tidak akan peduli dengan akibat buruknya. Dalam sebuah atsar diriwayatkan, di bawah kolong langit ini, tidak ada yang lebih jelek dibandingkan hawa nafsu yang diperturutkan.

Adapun musuh manusia yang keempat adalah gemerlap dunia, kenikmatan dan hiasannya. Keindahan dunia dan berbagai kenikmatan semunya, telah menipu banyak orang, membuat manusia lupa kepada tujuan hidupnya yang hakiki. Padahal kehidupan akhirat dan segala isinya jauh lebih baik dibandingkan dengan kehidupan dunia yang fana. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedangkan apa yang disisi Allah, adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya? (QS al Qashash : 60)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:

“Tetapi kamu (orang-orang) kafir lebih memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal”. (QS. Al A’la : 16-17).

Ikhwani arsyadanillahu wa iyyakum ajmai’in

Demikian beberapa musuh yang sering menghalangi manusia dari berbuat amal shalih. Semoga Allah melindungi kita semua dari semua makar dan tipu daya yang menyesatkan.

أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا أَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْم

KHUTBAH KEDUA

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَسَلّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا

Jika musuh-musuh bisa menguasai diri seorang manusia, maka dampak yang terlihat adalah tidak semangat dalam melakukan ketaatan. Dan sebaliknya, ia justru semangat dan tidak takut melakukan perbuatan maksiat.

Meski begitu, Allah subhanahu wa ta’ala yang maha Rahim tidak membiarkan para hambaNya untuk menghadapi musuhnya seorang diri. Allah subhanahu wa ta’ala berjanji akan menolong manusia dalam menghadapi musuh-musuhnya ini. Allah memerintahkan kepada kita agar memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, serta memerintahkan manusia agar memohon pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam melakukan amalan yang susah atau berat baginya.

Allah subhanahu wa ta’ala juga memerintahkan kepada para hambaNya agar ikhlas dalam melakukan ketaatan. Dengan demikian, dia akan termasuk hamba-hamba pilihan. Hamba-hamba yang ikhlas akan dibentengi Allah subhanahu wa ta’ala dari kekuasaan musuh. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya hamba-hambaku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Rabb-mu sebagai Penjaga”. (QS. Al Isra’ : 65).

Semoga Allah senantiasa menolong kita dalam menghadapi godaan musuh-musuh, yang senantiasa menghalangi manusia dari jalan ketaatan. Dan semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hambaNya yang ikhlas, dan senantiasa mengikuti petunjuk Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ.
رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلََى اّلذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. والحمد لله رب العالمين.




Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun X/1427H/2006M

Maka pernahkah kita merasa takut bila hati kita menjadi gelap?

oleh Abu Abdurrahman pada 20 November 2009 jam 9:14
Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

Tanda-tanda Takut Kepada Allah

Takut kepada Allah adalah salah satu bentuk ibadah yang tidak terlalu diperhatikan oleh sebagian orang-orang mukmin, padahal itu menjadi dasar beribadah dengan benar. Firman Allah Ta'ala:

"Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kalian kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman".(Ali 'Imran 175).


Tanda-tanda takut kepada Allah:

1.Pada lisannya

Seseorang yang takut kepada Allah mempunyai kekhawatiran atau ketakutan sekiranya lisannya mengucapkan perkataan yang mendatangkan murka Allah. Sehingga dia menjaganya dari perkataan dusta, ghibah dan perkataan yang berlebih-lebihan dan tidak bermanfaat. Bahkan selalu berusaha agar lisannya senantiasa basah dan sibuk dengan berdzikir kepada Allah, dengan bacaan Al Qur'an, dan mudzakarah ilmu.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya: "Barangsiapa yang dapat menjaga (menjamin) untukku mulut dan kemaluannya, aku akan memberi jaminan kepadanya syurga".(HR. Al Bukhari).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:
"Tanda sempurnanya Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu (perkataan) yang tidak berguna". (HR. At Tirmidzi).

Kemudian dalam riwayat lain disebutkan, artinya: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berbicara yang baik, atau (kalau tidak bisa) maka agar ia diam".(HR. Al Bukhari dan Muslim).

Begitulah, sesungguhnya seseorang itu akan memetik hasil ucapan lisannya, maka hendaklah seorang mukmin itu takut dan benar-benar menjaga lisannya.

2.Pada perutnya

Orang mukmin yang baik tidak akan memasuk-kan makanan ke dalam perutnya kecuali dari yang halal, dan memakannya hanya terbatas pada kebutuhannya saja.
Firman Allah Ta'ala:
Artinya: "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian lain diantara kamu dengan jalan yang batil".(Al Baqarah: 188).

Ibnu Abbas menjelaskan, memakan dengan cara batil ini ada dua jalan yaitu; Pertama dengan cara zhalim seperti merampas, menipu, mencuri, dll. Dan Kedua dengan jalan permainan seperti berjudi, taruhan dan lainnya. Harta yang diperoleh dengan cara haram selamanya tidak akan menjadi baik/suci sekalipun diinfaqkan di jalan Allah. Sufyan Ats-Tsauri menjelaskan, "Barangsiapa menginfaq-kan harta haram (di jalan Allah) adalah seperti seseorang mencuci pakaiannya dengan air kencing, dan dosa itu tidak bisa dihapus kecuali dengan cara yang baik". Bahkan dijelaskan dalam riwayat yang shahih bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan, setiap jasad (daging) yang tumbuh dari harta haram maka neraka lebih pantas untuknya.

Jadi, itulah urgensi memperhatikan jalan mencari harta. Sudahkah kita takut kepada Allah dengan menjaga agar jangan sampai perut kita dimasuki harta yang diharamkan Allah ?

3. Pada tangannya

Orang mukmin yang takut kepada Allah akan menjaga tangannya agar jangan sampai dijulurkan kepada hal-hal yang diharamkan Allah seperti; (sengaja) menyentuh wanita yang bukan muhrim, berbuat zhalim, aniaya. Dan tidak bermain dengan alat-alat permainan syetan seperti alat perjudian.

Orang mukmin selalu menggunakan tangannya untuk melakukan ketaatan, seperti bershadaqah, menolong orang lain (dengan tangannya) karena dia takut di akhirat nanti tangannya akan berbicara di hadapan Allah tentang apa yang pernah dilakukan-nya, sedangkan anggota badannya yang lain menjadi saksi atasnya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:
Artinya: "Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan".(Yasin: 65).

Bahkan salah seorang ulama salaf berkata; "Sekiranya kulit saya ditempeli bara api yang panas, maka itu lebih aku sukai daripada saya harus menyentuh perempuan yang bukan muhrim".

Itulah gambaran orang mukmin sejati yang takut kepada Allah di dalam menggunakan tangannya. Maka bagaimanakah dengan kita?

4. Pada penglihatannya

Penglihatan merupakan nikmat Allah Ta'ala yang amat besar, maka musuh Allah yaitu syetan tidak senang kalau nikmat ini digunakan sesuai kehendak-Nya. Orang yang takut kepada Allah selalu menjaga pandangannya dan merasa takut apabila memandang sesuatu yang diharamkan Allah, tidak memandang dunia dengan pandangan yang rakus namun me-mandangnya hanya untuk ibrah (pelajaran) semata.

Pandangan merupakan panah api yang dilepaskan oleh iblis dari busurnya, maka berbahagialah bagi siapa saja yang mampu menahannya. Allah berfirman:

Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman; "Hendaklah mereka menahan pandangan-nya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".(An Nur: 30).

Jika kita teliti banyaknya kemaksiatan dan kemungkaran yang merajalela, seperti; perzinaan dan pemerkosaan, salah satu penyebabnya adalah ketidak mampuan seseorang menahan pandangannya. Sebab, sekali seseorang memandang, lebih dari sepuluh kali hati membayangkan. Maka, sudahkah kita menjadi orang yang takut kepada Allah dengan menahan pandangan kepada sesuatu yang diharamkanNya?

5.Pada pendengarannya

Ini perlu kita renungi bersama, sehingga seorang mukmin akan selalu menjaga pendengarannya untuk tidak mendengarkan sesuatu yang diharamkan Allah, seperti nyanyian yang mengundang birahi beserta irama musiknya, dll. Firman Allah Ta'ala:
Artinya: "Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai tanggung jawabnya". (Al Israa': 36).
Dan seorang mukmin akan menggunakan pendengarannya untuk hal-hal yang bermanfaat.

6. Pada kakinya

Seseorang yang takut kepada Allah akan melangkahkan kakinya ke arah ketaatan, seperti mendatangi shalat jama'ah, majlis ta'lim dan majlis dzikir. Dan takut untuk melangkahkan kakinya ke tempat-tempat maksiat serta menyesal bila terlanjur melakukannya karena ingat bahwa di hari kiamat kelak kaki akan berbicara di hadapan Allah, ke mana saja kaki melangkah, sedang bumi yang dipijaknya akan menjadi saksi.

Firman Allah Ta'ala:
Artinya: "Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan". (Yaasin: 12).

Asbabun nuzul ayat ini adalah bahwa seorang dari Bani Salamah yang tinggal di pinggir Madinah (jauh dari masjid) merencanakan untuk pindah ke dekat masjid, maka turunlah ayat ini yang kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan bahwa bekas langkah (telapak) menuju masjid dicatat oleh Allah sebagai amal shaleh.

Semua bekas langkah kaki akan dicatat oleh Allah ke mana dilangkahkan, dan tidak ada yang tertinggal karena bumi yang diinjaknya akan mengabarkan kepada Allah tentang apa, kapan, dan di mana seseorang melakukan suatu perbuatan. Jika baik maka baiklah balasannya, tetapi jika buruk maka buruk pula balasannya. Ini semua tidak lepas dari kaki yang dilangkahkan, maka ke manakah kaki kita banyak dilangkahkan ?

7. Pada hatinya

Seorang mukmin akan selalu menjaga hatinya dengan selalu berzikir dan istighfar supaya hatinya tetap bersih, dan menjaganya dari racun-racun hati.

Seorang mukmin akan takut jika dalam hatinya muncul sifat jahat seperti buruk sangka, permusuhan, kebencian, hasad dan lain sebagainya kepada mukmin yang lain. Karena itu semua telah dilarang Allah dan RasulNya dalam rangka menjaga kesucian hati. Hati adalah penentu, apabila ia baik maka akan baik seluruh anggota tubuh, tetapi apabila ia jelek maka akan jeleklah semuanya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Ketahuilah bahwa dalam jasad ini ada segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya, dan apabila ia jelek maka jeleklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati".(HR. Riwayat Al Bukhari dan Muslim).

Maka pernahkah kita merasa takut bila hati kita menjadi gelap? Bahkan kita selalu merasa bahwa hati kita sama sekali tidak ada kejelekannya? Naudzubillah. Dari ini semua sudahkah kita termasuk orang yang takut kepada Allah ? (Agus Efendi).

Maraji': Tazkiyatun Nafs, Ibnu Rajab Al Hambali dan Ibnu Qayyim.

AKIDAH IMAM SYAFI’I -rohimahulloh-

oleh Abu Abdurrahman pada 03 Desember 2009 jam 10:30
Manhaj-Aqidah-Imam-ShafiiBiografi Imam Syafi’i -rohimahulloh-.

Nama beliau adalah: Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Sa’ib Al-Qurosyi, bin Abdul Muththolib bin Manaf. Kun-yah beliau Abu Abdillah.

Ayahnya tinggal di Makah. Saat pergi ke kota Gaza, lahirlah anaknya, yang diberi nama Muhammad. Dan Ibunya -yang berkebangsaan Yaman, dari Kabilah Azd- lalu membawanya kembali ke Makah. Imam Syafi’i ditinggal mati ayahnya ketika umurnya dua tahun.

Beliau telah hapal Alquran saat masih kecil, lalu keluar menuju pedesaan Kabilah Hudzail. Ketika itu mereka adalah Kabilah yang paling fasih bahasa arabnya. Dari hidup bersama Kabilah itu, beliau banyak hapal syair mereka. Lalu beliau kembali ke Makah dan memberi banyak manfaat dari kefasihan dan syairnya.

Beliau menetap di Makah, dan membaca (ilmu) di depan Muslim bin Kholid az-Zanji yang ketika itu adalah seorang syeikh dan muftinya Masjidil Harom Makah. Beliau terus mengaji kepadanya hingga diizinkan berfatwa di sana.

Lalu beliau mendatangi Imam Malik di Madinah, dan membaca kitab Al-Muwaththo’ kepadanya.

Dengan begitu beliau mengambil Ilmu Fikih dari Muslim bin Kholid az-Zanji, dan mengambil Hadits dari Imam Malik bin Anas.

Beliau pernah pergi ke Yaman, dan menjadi pembantunya Qodhi negeri itu, Mush’ab bin Abdulloh Al-Qurasyi. Yaman waktu itu adalah sarangnya Kelompok Syiah, oleh sebab itulah beliau dituduh menjadi penganut paham syiah. Beliau pun dibawa menghadap kholifah Harun Ar-Rosyid, ketika itu beliau di kota Ar-Roqqoh bersama sekelompok orang dituduh (oleh pihak kerajaan). Sungguh beliau pada posisi yang sangat berbahaya karena tuduhan itu, andai bukan karena kehalusan Alloh, lalu syafa’atnya Al-Hajibur Rosyid Al-Fadhl ibnur Robi’ yang terus membela, hingga beliau terbebas dari tuduhan. Lalu beliau bicara di hadapan Kholifah, hingga ia simpati kepada beliau, dan memerintahkan agar beliau dilepaskan dan dibebaskan. Peristiwa itu terjadi pada tahun 184 H.

Imam Syafi’i tidak lupa untuk memanfaatkan keberadaannya di Iraq, ia masuk Kota Bagdad dan menemui Muhammad Ibnul Hasan Asy-Syaibani, sahabat Imam Abu Hanifah. Maka ia pun menyambut Imam Syafi’i. Lalu beliau mengambil ilmu darinya dan menelaah kitab-kitab para ahli fikihnya negeri Irak dan mengambil pelajaran fikih dari mereka. Dengan begitu berarti beliau telah mengumpulkan antara cara para ahli fikih dan para ahli hadits. Beliau juga telah melakukan banyak diskusi dengan Muhammad ibnul Hasan, yang banyak ditulis dalam kitabnya Imam Syafi’i.

Beliau kemudian kembali lagi ke Mekah, yang merupakan tempat tujuan para ulama dari berbagai negeri, dari situ beliau banyak mengambil sekaligus memberi manfaat kepada yang lain, beliau juga banyak berdiskusi sehingga banyak ulama yang mengambil ilmu dari beliau.

Setelah itu beliau pergi ke Bagdad pada tahun 195 H, yakni masa kekhilafahan Al-Amin, di sana banyak ulama Irak yang mengambil ilmu dari beliau, dan di sanalah beliau mengimla’ (mendiktekan) kitab-kitab beliau yang terdahulu (madzhab lama/madzhabnya ketika di irak).

Beliau juga banyak berkumpul dengan ulama dan para imam dari bagdad, diantaranya: Imam Ahmad bin Hambal, kemudian beliau kembali lagi ke Mekah, ketika namanya telah tersohor di Bagdad, dan banyak ulama’nya mengikuti cara beliau.

Pada tahun 198 H, beliau kembali lagi ke Irak dalam perjalanannya yang ketiga ke kota itu, beliau tinggal di sana sebentar, kemudian pindah lagi ke Mesir. Beliau singgah di kota Fusthoth, bertamu di rumah Abdulloh bin Abdul Hakam, yang ketika itu termasuk sahabatnya Imam Malik.

Ketika itu madzhab Imam Malik telah menyebar luas di kota Mesir. Di mesir inilah beliau menulis kitabnya al-Umm, itu termasuk diantara kitabnya yang baru, yang diimla’ oleh beliau bersama kitab Ushul fikihnya “Ar-Risalah”

Imam Syafi’i adalah salah satu dari empat imamnya Ahlussunnah, beliau telah menyebarkan sendiri madzhabnya dari banyaknya perjalanan yang dilakukannya. Beliau juga yang menulis sendiri kitab-kitabnya, lalu mengimlakkannya kepada para muridnya, keadaan seperti ini tidak dikenal dari ulama kibar lain selain beliau.

Imam Syafi’i adalah seorang ahli syair yang sedikit karya syairnya, makna syairnya jelas, dan mudah dipahami, bahkan dalam tulisan kitabnya banyak kita dapati jiwa penyair beliau.

Beliaulah orang yang pertama kali membukukan ilmu ushul fikih dalam kitab khusus, juga orang yang pertama kali merumuskan ilmu nasikh dan mansukh dalam bidang hadits.

Diantara karya beliau: Kitabul Umm, Risalah fi Usulil Fiqh, Sabilun Najah, kumpulan sya’ir beliau yang dikenal dengan diwanu syafii, dan masih banyak lagi yang lain.

Beliau meninggal di Mesir, pada usianya yang ke-54 tahun.

AKIDAH IMAM SYAFI’I -rohimahulloh- :

عن الربيع بن سليمان قال، قال الشافعي: من حلف باللهِ، أو باسم من أسمائه، فحنث؛ فعليه الكفارة. وذلك لأن أسماء اللهِ غير مخلوقة؛ فمن حلف باسم اللهِ، فحنث؛ فعليه الكفارة.

Dari Ar-Robi’ bin Sulaiman: Imam Syafi’i mengatakan: “Barangsiapa bersumpah dengan nama Alloh, atau dengan nama-namaNya yang lain, lalu ia melanggarnya, maka ia wajib membayar kaffarot (tebusan). (Manaqib Syafi’i 1/405). Yang demikian itu: “Karena nama-nama Alloh itu bukanlah makhluk, maka barangsiapa bersumpah dengan nama Alloh, lalu melanggarnya, maka wajib atasnya membayar kaffarot”. (Adab syafi’i libni Abi Hatim, Al-Hilyah li Abi Nu’aim 9/112, Sunan Kubro lil baihaqi 1/28, Al-Asma was shifat lil baihaqi 255-256, Syarhus sunnah lil baghowi 1/188, Al-Uluw lidz Dzahabi 121, Mukhtashorul Uluw lil albani 77)

عن الشافعي أنه قال: القول في السنة التي أنا عليها، ورأيت أصحابنا عليها، أهل الحديث الذين رأيتهم، وأخذت عنهم مثل سفيان، ومالك، وغيرهما: الإقرار بشهادة أن لا إله إلا الله، وأن محمداً رسول الله، وأن اللهَ تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء، وأن الله تعالى ينزل إلى سماء الدنيا كيف شاء.

Imam Syafi’i mengatakan: Perkataan dalam sunnah yang aku berjalan di atasnya, dan aku lihat para sahabat kami juga berjalan di atasnya, -yakni para ahlul hadits yang ku temui dan ku ambil ilmu dari mereka, seperti Sufyan Ats-Tsauri, Malik, yang lainnya-, adalah: Berikrar dengan persaksian bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Alloh, sesungguhnya Muhammad itu Rosululloh, sesungguhnya Alloh itu diatas arsy-Nya, di atas langit-Nya, Dia mendekat kepada makhluknya bagaiamanapun Dia kehendaki, dan Alloh juga turun ke langit dunia sesuai kehendaknya. (Ijtima’ul juyusyil islamiyah libnil qoyyim, hal: 165. Itsbatu Shifatil Uluw, hal:124. Majmu’ul Fatawa 4/181-183. Al-Uluw lidz Dzahabi, hal: 120. Mukhtashorul Uluw lil Albani, hal: 176)

عن المزني قال: قلت إن كان أحد يخرج ما في ضميري، وما تعلَّق به خاطري من أمر التوحيد؛ فالشافعي، فصرت إليه وهو في مسجد مصر، فلما جثوت بين يديه، قلت: هجس في ضميري مسألة في التوحيد، فعلمت أن أحداً لا يعلم علمك، فما الذي عندك؟ فغضب ثم قال: أتدري أين أنت؟ قلت: نعم. قال: هذا الموضع الذي أغرق اللهُ فيه فرعون، أبلغك أن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – أمر بالسؤال عن ذلك؟ قلت: لا، قال: هل تكلم فيه الصحابة؟ قلت: لا، قال: أتدري كم نجماً في السماء؟ قلت: لا، قال: فكوكب منها تعرف جنسه، طلوعه، أفوله، ممَّ خُلِق؟ قلت: لا، قال: فشيءٌ تراه بعينك من الخلق لست تعرفه تتكلم في علم خالقه؟ ثم سألني عن مسألة في الوضوء فأخطأت فيها، ففرَّعها على أربعة أوجهٍ، فلم أصب في شيء منه، فقال: شيءٌ تحتاج إليه في اليوم خمس مرات؛ تدع عِلْمَهُ وتتكلف علم الخالق إذا هجس في ضميرك ذلك. فارجع إلى قول اللهِ تعالى: {وَإِلَـهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ} [سورة البقرة: 163-164] فاستدل بالمخلوق على الخالق، ولا تتكلف على ما لم يبلغه عقلك! قال فتبت.

Al-Muzani mengatakan: Aku berkata dalam hati, andai saja ada seseorang yang bisa menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan tauhid yang ada dalam hatiku, maka tidak lain orangnya adalah imam syafi’i. Lalu aku pergi menemui beliau, saat sedang di masjid negeri Mesir.

Ketika aku duduk di depan beliau, ku katakan: “Terbetik dalam hatiku masalah tauhid, dan aku yakin tidak ada seorangpun yang memiliki ilmu seperti engkau, apakah engkau memiliki jawabannya?” seketika itu beliau marah, lalu mengatakan: “Tahukah, dimana kau sekarang?” “Ya” jawabku.

Beliau mengatakan: “ini adalah tempat Alloh menenggelamkan Fir’aun! Apakah telah sampai padamu kabar bahwa Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- menyuruh untuk menanyakan hal itu?” “tidak” jawabku.

Beliau mengatakan: “Sudahkah para sahabat membahasnya?” “tidak” jawabku.

Beliau mengatakan: “Tahukah kamu berapa jumlah bintang di langit?” “tidak” jawabku.

Beliau mengatakan: “Tahukah kau Salah satu jenis planetnya, kapan munculnya, kapan tenggelamnya, dan dari apa ia diciptakan?” “Tidak” jawabku.

Beliau mengatakan: “Makhluk yang bisa kau lihat dengan matamu saja kamu tidak tahu, bagaimana kau berbicara tentang penciptanya?!”

Kemudian beliau menanyakan padaku tentang masalah wudhu’, dan aku aku salah menjawabnya. Lalu beliau memecahnya menjadi empat masalah, dan tidak satupun aku jawab dengan benar, maka beliau mengatakan: “Sesuatu yang kau butuhkan sehari lima kali saja kau tidak tahu, bagaimana kau hendak bersusah payah memecahkan masalah tentang Penciptamu yang terbetik dalam hatimu itu?!, kembalilah kepada firman Alloh: “Sesembahan kalian adalah sesembahan yang maha esa, tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Dia, yang maha pengasih, lagi maha penyayang. Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, dan kapal yang berlayar di laut dengan muatan yang bermanfaat bagi manusia…… terdapat tanda kekuasaan bagi orang-orang yang menggunakan akalnya” (Albaqoroh 163-164). Lihatlah bagaimana Alloh menggunakan makhluk sebagai dalil yang menunjukkan Kholiqnya, dan janganlah kau bersusah payah dalam masalah yang tidak dijangkau oleh nalarmu!, lalu al-Muzani mengatakan: “akupun bertobat setelah itu”. (siyaru a’lamin nubala 2/31-33)

عن يونس بن عبد الأعلى، قال: سمعت الشافعي يقول: إذا سمعت الرجل يقول الاسم غير المُسمى، أو الشيء غير الشيء، فاشهد عليه بالزندقة.

Dari Yunus bin Abdul A’la: Aku pernah mendengan Imam Syafi’i mengatakan: “Jika kau mendengar seseorang mengatakan bahwa ‘nama itu tidak sama dengan yang memiliki nama’ atau ’sesuatu itu bukanlah hakekat sesuatu’ maka persaksikanlah bahwa dia itu zindiq (munafik). (Al-Intiqo’:79) (Majmu’ Fatawa 6/187)

قال الشافعي في كتابه الرسالة: والحمد لله… الذي هو كما وصف به نفسه، وفوق ما يصفه به خلقه.

Imam Syafi’i mengatakan: “Segala puji bagi Alloh… yang Dia itu sebagaimana disifati sendiri oleh-Nya, dan lebih agung dari sifat yang diberikan oleh para makhluknya”. (Ar-Risalah, hal:7-8)

عن الشافعي أنه قال: نثبت هذه الصفات التي جاء بها القرآن، ووردت بها السنة، وننفي التشبيه عنه، كما نفى عن نفسه، فقال: { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ} [سورة الشورى: 11]

Imam Syafi’i mengatakan: “Kami menetapkan sifat-sifat yang disebutkan dalam Alqur’an dan Sunnah ini, tapi kami menafikan tasybih dari-Nya, sebagaimana Dia sendiri menafikan hal itu dari-Nya, Dia berfirman: ‘Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya’ (Surat Asy-Syuro:11) (Lihat Kitab Assiyar lidz Dzahabi 20/341)

عن الربيع بن سليمان قال: سمعت الشافعي يقول في قول الله عزَّ وجلَّ: {كَلَّا إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّمَحْجُوبُونَ} [سورة المطففين: الآية 15] أعلمنا بذلك أن ثم قوماً غير محجوبين، ينظرون إليه، لا يضامون في رؤيته.

Dari Robi’ bin Sulaiman: Aku pernah mendengar Imam Syafi’i mengatakan tentang firman Alloh azza wajall: “Sekali-kali tidak, sungguh mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari melihat Tuhannya”. (Al-Muthoffifin: 15). Dengan ini Alloh memberitahu bahwa di sana ada kelompok yang tidak terhalang, mereka melihat kepada Tuhannya, dan tidak ada yang samar dalam penglihatan mereka. (Al-Intiqo’, hal:79)

عن الربيع بن سليمان قال: حضرت محمد ابن إدريس الشافعي، جاءته رقعة من الصعيد فيها: ما تقول في قوله تعالى: {كَلَّا إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّمَحْجُوبُونَ} [سورة المطففين: الآية 15] قال الشافعي: فلما حجبوا هؤلاء في السخط؛ كان هذا دليلاً على أنه يرونه في الرضا. قال الربيع: قلت يا أبا عبد الله وبه تقول؟ قال: نعم به أدين اللهَ.

Robi’ bin Sulaiman mengatakan: aku pernah mendatangi Muhammad bin Idris Asy-Syafii, ketika sampai padanya kertas yang bertuliskan: “Apa pendapatmu tentang firman Alloh ta’ala: ‘Sekali-kali tidak, sungguh mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari melihat Tuhannya’.” (Al-Muthoffifin: 15). Imam Syafii mengatakan: “Ketika mereka terhalangi (dari melihat-Nya) di saat (Alloh) marah, itu berarti dalil bahwa sesungguhnya mereka akan melihatnya di saat (Alloh) ridho”.

Ar-Robi’ bertanya: “Apa dengan itu engkau berpendapat?”. “Ya, itulah agama yang akan kupertanggung-jawabkan di hadapan Alloh kelak”. (Syarah Ushul I’tiqodi Ahlissunnah wal Jama’ah lillalaka’i 2/506)

عن الجارودي قال: ذُكر عند الشافعي، إبراهيم بن إسماعيل بن عُلَيَّة فقال: أنا مخالف له في كل شيء، وفي قوله لا إله إلا الله، لست أقول كما يقول. أنا أقول: لا إله إلا الله الذي كلَّم موسى عليه السلام تكليماً من وراء حجاب، وذاك يقول لا إله إلا اللهُ الذي خلق كلاماً أسمعه موسى من وراء حجاب.

10 Al-jarudi mengatakan: Nama Ibrohim bin Ismail bin Ulayyah[1] pernah disebut di depan Imam Syafii, maka beliau mengatakan: Saya menyelisihinya dalam segala sesuatu. Dan dalam perkataannya ‘laa ilaaha illalloh’, aku tidak mengatakan seperti yang ia katakan, aku mengatakan: “tiada sesembahan yang berhak disembah selain Alloh, yang benar-benar telah mengajak bicara Musa dari balik tabir”, sedang ia mengatakan: “Tiada Ilah selain Alloh, yang telah menciptakan perkataan yang diperdengarkan kepada Musa dari balik tabir”. (Al-Intiqo’, hal:79. Kisah ini juga disebutkan oleh Al-Hafidz dari Manaqib Syafii lil baihaqi, lihat Al-Lisan 1/35)

عن الربيع بن سليمان، قال الشافعي: من قال القرآن مخلوق؛ فهو كافر.

Dari Ar-Robi bin Sulaiman, dari Asy-Syafii: “Barangsiapa mengatakan Alqur’an itu makhluk, maka dia kafir”. (Syarah Ushul I’tiqodi Ahlissunnah wal Jama’ah lillalaka’I 1/252)

عن أبي محمد الزبيري قال: قال رجل للشافعي، أخبرني عن القرآن خالق هو؟ قال الشافعي: اللهم لا، قال: فمخلوق؟ قال الشافعي: اللهم لا. قال: فغير مخلوق؟ قال الشافعي: اللهم نعم، قال: فما الدليل على أنه غير مخلوق؟ فرفع الشافعي رأسه وقال: تقر بأن القرآن كلام الله؟ قال: نعم. قال الشافعي: سبقت في هذه الكلمة، قال الله تعالى ذكره: {وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللّهِ} [سورة التوبة: الآية 6] {وَكَلَّمَ اللّهُ مُوسَى تَكْلِيماً} [سورة النساء: الآية 164] قال الشافعي: فتقر بأن الله كان، وكان كلامه؟ أو كان الله، ولم يكن كلامه؟ فقال الرجل: بل كان الله، وكان كلامه. قال: فتبسم الشافعي وقال: يا كوفيون إنكم لتأتوني بعظيم من القول إذا كنتم تقرُّون بأن الله كان قبل القبل، وكان كلامه. فمن أين لكم الكلام: إن الكلام اللهُ، أو سوى اللهِ، أو غير اللهِ، أو دون اللهِ؟ قال: فسكت الرجل وخرج.

Dari Abu Muhammad Az-Zubairi: Ada seorang lelaki mengatakan kepada Asy-Syafii: “Katakan padaku tentang Alqur’an, kholiq-kah dia?” “Tidak” Jawab Imam Syafii.

Orang itu: “Makhluk-kah dia?” “Tidak” Jawab Imam Syafii.

Orang itu: “Berarti Alqur’an itu bukan makhluk?” “Tentu saja ya” jawab Imam Syafii.

Orang itu: “Apa dalilnya kalau Alqur’an itu bukan makhluk?”

Lalu Imam Syafii mengangkat kepala, seraya mengatakan: “Apa kamu berikrar bahwa Alquran itu kalamulloh (firman Alloh)?” “Ya”, jawab orang itu.

Imam syafii: “Telah ada yang mendahuluimu dalam jawabanmu itu, Alloh ta’ala berfirman: ‘Jika diantara kaum musyrikin ada yang meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah agar dia dapat mendengar kalamulloh’ (At-Taubah:6) ‘Dan Alloh benar-benar mengajak Musa bicara langsung dengan-Nya’ (An-Nisa:164).

Imam syafii mengatakan: “Apa kamu berikrar bahwa Alloh itu dulunya ada, begitu pula firman-Nya?!, ataukah Alloh itu dulunya ada, sebelum ada firman-Nya?!” Orang itu menjawab: “Tentunya Alloh itu dulunya ada, begitu pula firman-Nya”.

Mendengar jawaban itu, Imam Syafii tersenyum, dan mengatakan: “Wahai orang-orang Kufah, sungguh kalian telah datang dengan suatu perkataan yang agung, jika kalian berikrar bahwa Alloh itu ada sejak dahulu kala, begitu pula firman-Nya! lalu dari mana perkataan kalian ’sesungguhnya firman-Nya itu sama dengan Alloh, atau selain Alloh, atau bukan Alloh, atau di bawah Alloh?!” mendengar itu, orang itu pun diam dan pergi. (Manaqib Syafii 1/407-408)

وفي جزء الاعتقاد المنسوب للشافعي – من رواية أبي طالب العُشاري – ما نصه قال: وقد سئل عن صفات الله عزَّ وجلَّ، وما ينبغي أن يؤمن به، فقال: للهِ تبارك وتعالى أسماء وصفات، جاء بها كتابه وخبَّر بها نبيه – صلى الله عليه وسلم – أمته، لا يسع أحداً من خلق الله عزَّ وجلَّ قامت لديه الحجَّة أن القرآن نزل به، وصحَّ عنده قول النبي – صلى الله عليه وسلم – فيما روى عنه العدلُ خلافَه، فإن خالف ذلك بعد ثبوت الحجَّة عليه، فهو كافر بالله عزَّ وجلَّ. فأما قبل ثبوت الحجة عليه من جهة الخبر؛ فمعذور بالجهل؛ لأن علم ذلك لا يدرك بالعقل، ولا بالدراية والفكر.

ونحو ذلك إخبار الله عزَّ وجلَّ أنه سميع وأن له يدين بقوله عزَّ وجلَّ: {بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ} [سورة المائدة: الآية 64] وأن له يميناً بقوله عزَّ وجلَّ: {وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ} [سورة الزمر: الآية 67] وأن له وجهاً بقوله عزَّ وجلَّ: {كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ} [سورة القصص: الآية 88] وقوله: {وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ} [سورة الرحمن: الآية 27]

وأن له قدماً بقوله – صلى الله عليه وسلم: “حتى يضع الرب عزَّ وجلَّ فيها قدَمه.” يعني جهنم؛ لقوله – صلى الله عليه وسلم – للذي قُتِل في سبيل الله عزَّ وجلَّ أنه: “لقي الله عزَّ وجلَّ وهو يضحك إليه.” وأنه يهبط كل ليلة إلى السماء الدنيا، بخبر رسول الله – صلى الله عليه وسلم – بذلك، وأنه ليس بأعور لقوله النبي – صلى الله عليه وسلم – إذ ذكر الدجال فقال: “إنه أعور وإن ربكم ليس بأعور”، وأن المؤمنين يرون ربهم عزَّ وجلَّ يوم القيامة بأبصارهم كما يرون القمر ليلة البدر، وأن له إصبعاً بقوله – صلى الله عليه وسلم: “ما من قلب إلاَّ هو بين إصبعين من أصابع الرحمن عزَّ وجلَّ”

وإن هذه المعاني التي وصف الله عزَّ وجلَّ بها نفسه، ووصفه بها رسول الله – صلى الله عليه وسلم – لا تُدرَك حقيقتها تلك بالفكر والدراية، ولا يكفر بجهلها أحد إلا بعد انتهاء الخبر إليه به، وإن كان الوارد بذلك خبراً يقوم في الفهم مقام المشاهدة في السَّماع؛ وجبت الدينونة على سامعه بحقيقته والشهادة عليه، كما عاين وسمع من رسول الله – صلى الله عليه وسلم، ولكن نثبت هذه الصفات، وننفي التشبيه كما نفى ذلك عن نفسه تعالى ذكره فقال: { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ} [سورة الشورى: الآية 11]… إلى آخر الاعتقاد.

Dalam Kitab Juz’ul I’tiqod, yang disandarkan kepada Imam Syafii, dari riwayatnya Abu Tholib al-Usyari, dikatakan: Beliau pernah ditanya tentang sifat-sifat Alloh azza wajall dan apa yang seyogyanya diimani?. Maka beliau menjawab: “Alloh tabaroka wata’ala memiliki banyak nama dan sifat, yang datang dalam kitab-Nya dan dikabarkan Nabi-Nya -shollallohu alaihi wasallam- kepada umatnya.

Tidak boleh seorang pun -dari makhluk Alloh azza wajall yang telah tegak baginya hujjah dari Alqur’an yang turun kepadanya, dan sabda Nabi shollallohu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh perowi yang adil- menyelisihinya. Apabila ia menyelisihinya setelah tegaknya hujjah atasnya, maka ia termasuk orang yang kafir kepada Alloh azza wajall. Adapun apabila ia menyelisihinya sebelum tegaknya hujjah atasnya dari sisi nash, maka ia diberikan udzur karena kebodohannya, karena pengetahuan tentang itu tidak mungkin dinalar dengan akal, tidak mungkin pula diperoleh dengan mempelajari dan merenunginya.

Diantara contoh hal tersebut adalah:

* Kabar dari Alloh bahwa Dia maha mendengar.
* Bahwa dia memiliki dua tangan, sebagaimana firman-Nya: “Akan tetapi kedua tangan Alloh itu terbuka” (Al-Maidah:64).
* Bahwa Dia memiliki tangan kanan, sebagaimana firman-Nya: “Dan langit-langit itu digulung dengan tangan kanan-Nya” (Az-Zumar:67).
* Bahwa Dia memiliki wajah, sebagaimana firman-Nya: “Segala sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya” (Al-Qoshosh:88) dan juga firman-Nya: “Tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal” (Ar-Rohman:27).
* Bahwa Dia memiliki kaki, sebagaimana sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam-: “Sehingga Tuhan azza wajall meletakkan kaki-Nya di dalam Jahannam”.
* Bahwa Dia tertawa, sebagaimana sabdanya tentang orang yang gugur di jalan Alloh bahwa ia akan menemui Alloh azza wajall, dalam keadaan Dia tertawa padanya”.
* Bahwa Dia turun ke langit dunia setiap malam, dengan dasar kabar dari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-.
* Bahwa Dia tidak buta sebelah, sebagaimana sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam- ketika menyebut Dajjal: “Sesungguhnya Dajjal itu buta sebelah, sedang Tuhanku tidaklah buta sebelah”.
* Bahwa sesungguhnya kaum mukminin akan melihat Tuhannya pada hari kiamat dengan mata mereka, sebagaimana mereka melihat bulan purnama.
* Bahwa Dia memiliki jari, sebagaimana sabdanya: “Tiada hati, melainkan ia berada diantara dua jari dari jari-jarinya Yang maha pengasih”.

Sungguh makna dari sifat-sifat yang diberikan Alloh sendiri pada diri-Nya, dan juga diterangkan oleh Rosul-Nya -shollallohu alaihi wasallam- tidak akan diketahui hakekatnya dengan merenungi dan mempelajarinya, dan seseorang tidak dikafirkan karena tidak mengetahuinya kecuali setelah datang kepadanya nash tentang itu.

Apabila kabar yang menerangkan hal itu dari sisi pemahaman bisa mewakili persaksian dalam pendengaran, maka hal itu wajib dipersaksikan dan diamalkan secara hakiki sebagai agama oleh orang yang mendengarnya, seakan ia menyaksikan dan mendengarnya langsung dari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-.

Tapi ketika kita menetapkan sifat-sifat ini, kita juga menafikan tasybih (penyerupaan Alloh dengan makhluk-Nya), sebagaimana Alloh nafikan hal itu dari diri-Nya dalam firman-Nya: “Tidak ada sesuatu pun yang sama dengan-Nya, dan Dia maha mendengar lagi maha melihat” (Asy-Syuro:11)… (lihat kitab Dzammut Ta’wil libni Qudamah, hal:124. At-Thobaqot libni Abi Ya’la 1/283. Ijtima’ul Juyusy Islamiyah libnil Qoyyim, hal:165. As-Siyar lidz Dzahabi 10/79).
[1] Imam Adz-Dahabi mengatakan, bahwa ia itu orang jahmiyah yang ekstrim, ia sering berdebat dan mengatakan bahwa Alqur’an itu makhluk. (lihat mizanul i’tidal 1/20, dan Lisanul Mizan 1/34-35)

Nasehat untuk para pendidik

oleh Abu Abdurrahman pada 04 Desember 2009 jam 0:39
كلمة توجيهية للمدرسين


الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على نبينا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأن محمدا عبده ورسوله، وبعد:

Inilah sebahagian washiyat yang saya washiyatkan pada diri saya dan kepada saudara saya dari kalangan para pendidik, dan saya meminta kepada Allah semoga kita bisa mengambil manfa`at dengannya.

Pertama : Mengikhlashkan niat karena Allah Ta`ala dalam mendidik anak anak didik mereka dan saudara saudara mereka dari kalangan penuntut `ilmu, dan mendidik mereka sesuai dengan apa yang diredhoi oleh Rabb mereka Jalla wa `Alaa, kemudian sabar dan mengharapkan ganjaran atas `amalan demikian dari Allah Subhaana wa Ta`ala, semata mata mengharapkan pahala dariNya, berkata sebahagian ahli `ilmu : “al Ikhlash ialah jangan kamu mencari atas `amalan engkau saksi selain Allah Ta`ala, tidak juga pemberi ganjaran selainNya, dan inilah sebenarnya haqiqat dari ad Din, serta miftah (kunci) da`wah para Rusul `Alaihimus Sholaatu was Sallaam, berfirman Allah Jalla Jalaaluhu :

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ (٥)

5. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.

[1595] Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.

Dan Allah Ta`ala berkata :

قُلْ إِنَّنِي هَدَانِي رَبِّي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ دِينًا قِيَمًا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٦١)قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (١٦٢)لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (١٦٣)

161. Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah Termasuk orang-orang musyrik”.

162. Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.

163. tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. Al An`am (161-163).

Keikhlashan adalah merupakan syarat untuk diterimanya `amalan, sesungguhnya satu `amalan tidak akan diterima oleh Allah Ta`ala kecuali dengan dua syarat :

Pertama : Hendaklah `amalan tersebut zhohirnya cocok dengan apa yang disyari`atkan Allah Ta`ala dalam kitabNya, atau dijelaskan oleh RasulNya Shollallahu `alaihi wa Sallam, telah meriwayatkan al Bukhaari dan Muslim dishohih mereka berdua, hadist dari jalan `Aaisyah radhiallahu `anha, bahwa an Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :

“من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد”.

“Barang siapa yang mengada ada (mengadakan satu bid`ah) dalam perintah Kami ini yang bukan bagian darinya maka dia tertolak”.[1]

Kedua : Hendaklah `amalan tersebut ikhlash semata mata liwajihillahi Ta`ala, al Imam al Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan satu hadist dari jalan `Umar bin al Khotthab radhiallahu `anhu bahwa an Nabiy Shollallahu `alaihi wa Sallam berkata :

“إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى”.

“Sesungguh seluruh `amalan tergantung dengan niat, dan sesungguhnya setiap manusia apa yang dia niatkan”.[2]

Berkata al Fudheil bin `Iyaadh : “`Amalan yang paling baik ialah `amalan yang paling ikhlash dan paling benar, kemudian beliau melanjutkan perkataannya; sesungguhnya satu `amalan apabila ikhlash dilakukan tapi tidak benar (tidak cocok dengan tuntunan Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam) tidak akan diterima oleh Allah Jalla Jalaaluhu, dan apabila benar tetapi tidak ikhlash tidak juga diterima, sampai `amalan itu betul betul ikhlash dan benar, al khoolish semata mata karena Allah, dan ash showab betul betul cocok di atas as Sunnah”.[3]

Diantara dalil dalil yang besar menunjukan tentang ikhash dimana seorang hamba mengamalkan satu `amalan yang sholih, kemudian dia tidak peduli dengan pantauan manusia atasnya, bahkan kalau dinisbahkan kepada selainnya akan mengembirakan dia demikian itu dikarenakan ilmunya bahwasanya dia dipelihara disisi Allah Ta`ala.

Dan dikatakan kepada Sahl at Tustariy : “Apa sesuatu yang sangat berat atas jiwa? Kata beliau : “al Ikhlash; karena tidak ada bagi jiwa tersebut bahagian- artinya dari bentuk keduniaan”.-

Kedua : Bertaqwa kepada Allah Ta`ala, dan selalu merasa diawasi olehNya baik ketika tidak nampak dan tidak nampak, sesungguhnya taqwa kepada Allah `Azza wa Jalla merupakan washiyat untuk orang orang terdahulu dan sekarang, Allah Ta`ala berfirman :

وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيًّا حَمِيدًا (١٣١)

131. dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah bertakwalah kepada Allah. tetapi jika kamu kafir Maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah[360] dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji. An Nisaa` (131).

[360] Maksudnya: kekafiran kamu itu tidak akan mendatangkan kemudharatan sedikitpun kepada Allah, karena Allah tidak berkehendak kepadamu.

Adalah an Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam kebanyakan washiyatnya untuk para shohabat adalah ketaqwaan kepada Allah Ta`ala, dalam hadist al `Irbaadh ibnu Saariyah bahwa an Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :

“أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة”.

“Saya washiyatkan pada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengarkan dan mentho`ati para pemimpin”.[4]

Berkata al Imam Tholq bin Habiib rahimahullahu Ta`ala : “Yang dikatakan at taqwa ialah kamu ber`amal untuk mentho`ati Allah dibawah bimbingan cahaya dari Allah, dan kamu mengharapkan ganjaran dari Allah, lalu kamu meninggalkan ma`shiyat kepada Allah takut akan `adzabNya Jalla Sya`nuhu”.[5]

[1] Al Bukhaariy (2697), Muslim (1718).

[2] Al Bukhaariy (1), Muslim (1718).

[3] “Madaarijus Saalikin”, (2/93), oleh al Imam Ibnu Qaiyyim al Jauziyyah.

[4] “Sunan Abi Daawud” (4607).

[5] “Siyaru A`laamin Nubalaa`”

كلمة توجيهية للمدرسين

Berhati hatilah dari seluruh ma`shiyat besar atau kecil, sesungguhnya Allah Ta`ala telah menjanjikan atas siapapun yang menjauhi dosa dosa besar akan menghapus dosa dosa kecilnya, dan akan memasukannya kedalam jannahNya, Allah Tabaaraka wa Ta`ala berfirman :

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلا كَرِيمًا (٣١)

31. jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). An Nisaa` (31).

Artinya banyaknya kebajikan dan keberkatan, berhati hati dari dosa dosa kecil, al Imam al Bukhari telah meriwayatkan dalam shohihnya hadist dari Anas bin Maalik radhiallahu `anhu berkata beliau :

“إنكم لتعملون أعمالا هي أدق في أعينكم من الشعر، إن كنا لنعدها على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم من الموبقات”.

“Sesungguhnya kalian telah mengamalkan `amalan `amalan yang dimata kalian lebih halus dari rambut, sesungguh kami mengkategorikan di zaman Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam sebagai al muubiqaat (yang membinasakan)”.[1]

Berkata abu `Abdillah : yang dimaksud demikian ialah al Muhlikaat (yang membinasakan).

Berkata al Imam al Auza`iy : “Jangan kamu melihat kepada kecilnya ma`shiyat, akan tetapi lihatlah kepada Besarnya siapa yang kamu durhakai”.

Ketiga : Qudwah yang baik, sudah sesuatu yang dima`lumi bahwa seorang penuntut `ilmu akan terpengaruh dengan gurunya, dia akan senang untuk taqlid pada gurunya dan berqudwah dengannya, maka diwajibkan atas para pendidik dan pengajar jangan sampai perkataannya menyelisihi perbuatannya, Allah Ta`ala berkata :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ (٢)كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ (٣)

2. Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?

3. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. As shof (2-3).

Dan Allah Jalla Sya`nuhu berfirman tentang NabiNya Syu`eib `Alaihis Sholaatu was Sallaam :

قَالَ يَا قَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَرَزَقَنِي مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلا الإصْلاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ (٨٨)

88. Syu’aib berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Rabbku dan dianugerahi-Nya aku dari pada-Nya rezki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali. Huud (88).

kamu melarang dari akhlaq yang jelek, lalu kamu mendatangi semisalnya, `aib yang besar atas engkau bila kamu mengerjakannya.

Berkata penya`ir :

لا تنه عن خلق وتأتي مثله عار عليك إذا فعلت عظيم

Berkata Allah Ta`ala :

وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلإنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا (٥٣)

53. dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. Al Israa` (53).

Allah Ta`ala berkata :

وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (٣٤)

34. dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Fusshilat (34).

Al Imam at Tirmidziy telah meriwayatkan dalam sunannya hadist dari jalan Abid Darda` bahwa an Nabiy Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :

“ما شيء أثقل في ميزان المؤمن يوم القيامة من خلق حسن وإن الله ليبغض الفاحش البذيء”.

“Tidak ada sedikitpun yang lebih berat ditimbangan seorang mu`min pada hari kiamat nanti dari akhlaq yang baik, dan sesungguhnya Allah sangat membenci orang yang berkata keji dan jelek”.[2]

Akhlaq yang baik mencakup sisi sisi yang sangat banyak dari kehidupan seorang muslim dalam ucapannya dan `amalannya; dalam `ibadahnya kepada Rabbnya, mu`aamalahnya sesama hamba Allah, berkata `Abdullah bin al Mubaarak : “Akhlaq yang baik ialah wajah yang berseri, menyebarkan kebajikan, menahan gangguan, dan hendaklah kamu memberikan `udzur kepada manusia”.

Saya washiyatkan kepada pengajar hendaklah berakhlaq yang baik dengan sahabat sahabatnya, dengan para muridnya, bahkan dengan wali wali muridnya, dan hendaklah berlemah lembut dalam bermu`amalah dengan mereka.

Al Imam Muslim telah meriwayatkan satu hadist dalam shohihnya dari jalan `Aaisyah radhiallahu `anha bahwa an Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam berkata :

“إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه، ولا ينزع من شيء إلا شانه”.

“Tidak terdapat kelembutan pada sesuatu kecuali menghiasinya, dan tidak dicabut kelembutan dari sesuatu kecuali merusaknya”.[3]

Dan sesungguhnya Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling terbaik akhlaqnya, maka barang siapa yang ingin sampai kepada akhlaq yang mulia, hendaklah dia ber uswah dengan Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam, telah meriwayatkan at Tirmidziy dalam sunannya hadist dari jalan Anas bin Malik radhiallahu `anhu berkata :

“خدمت النبي عشر سنين، فما قال لي أف قط، وما قال لشيء صنعته: لم صنعته؟ولا لشيء تركته: لم تركته؟”.

“Saya menjadi pembantu Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam sepuluh tahun, sama sekali beliau tidak pernah berkata uffin pada saya, dan tidak pernah berkata terhadap sesuatu yang saya perbuat: kenapa kamu kerjakan itu?, dan juga terhadap sesuatu yang saya tinggalkan: kenapa kamu tinggalkan?”.[4]

Kelima : Hendaklah seorang guru bersemangat dalam mendidik anak didiknya dengan tarbiyatan shoolihah, dia ajarkan pada mereka tentang perkara perkara Islam dan Iman, lalu dia tanamkan rasa kecintaan pada Allah dan pengagunganNya pada hati hati mereka, demikian juga kecintaan kepada Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam, kemudian dia jelaskan pada mereka wajibnya mengikuti beliau Shollallahu `alaihi wa Sallam, ber`amal dengan Sunnahnya `alaihis Sholaatu was Salaam, berqudwa dengannya Shollallahu `alaihi wa Sallam, lalu diajarkan pada mereka adab adab yang baik, dan akhlaq yang mulia, seperti adab adab masjid, majlis, menghormati guru dan orang yang lebih tua, juga adab dengan teman teman dan sahabat, dan biasakan kepada mereka bertutur kata yang baik, dan wanti wanti mereka dari perkataan yang jelek, dan selain dari yang demikian dari adab adab yang indah serta sifat sifat yang mulia.

الحمد لله رب العالمين، وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

Diterjemahkan oleh al Ustadz Abul Mundzir/Dzul Akmal Lc, dari kitab: “ad Durarul Muntaqoot minal Kalimaatil Mulqoot Duruus Yaumiyyah”, halaman 645-649, oleh ad Doktor Amin bin `Abdillah as Syaqaawiy.

Rimbo Panjang, komplek Ponpes Ta`zhiimus Sunnah as Salafiyah, Sabtu malam Ahad bertepatan dengan 25 Sya`ban 1430 H/15 Agustus 2009 M.

[1] Al Bukhaariy (6492).

[2] At Tirmidziy (2002), dan berkata dia : hadist hasan shohih.

[3] Muslim (2593).

[4] At Tirmidziy (2015) asal hadist ini dishohih al Bukhaariy dan Muslim.