Senin, 07 November 2011

Ebook Hijamah ( Titik Bekam Nabi )




Ebook ini merupakan buku saku ringkas buat para praktisi bekam atau yang mau belajar ilmu pengobatan cara Nabi SAW. Buku ini berisi hujjah-hujjah (dalil) mengenai bekam yang merupakan sunnah Nabi yang mulia Muhammad SAW. Dan juga berisi peta titik bekam menurut sunnah Nabi berikut khasiat dan manfaatnya dalam metode penyembuhan penyakit-penyakit yang menurut saya sebagai penulis blog ini cukup lengkap. Buku ini berektension .ppt (presentation) yang bisa dibaca menggunakan program Microsoft Power Point. Saya menyarankan kepada Anda yang berkerja sebagai praktisi bekam dan yang ingin belajar bekam itu sendiri untuk mendownload ebook ini.

DOWNLOAD
Diposkan oleh Abu Azzam

Menurut Organisasi Pengobatan Bekam HPA

titik refleksi pada tangan

Sikap Ramah dan Lemah Lembut

Allah ta’ala mensifati nabi-nya shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau adalah orang yang berakhlak mulia. Allah ta’ala berfirman

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (٤)

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Qs. Al Qalam: 4)

Allah mensifati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sifat lemah lembut dan penyayang. Allah ta’ala berfirman,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Qs. Ali Imran: 159)

Allah juga mensifati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sifat pengasih dan penyayang kepada kaum mukminin. Allah ta’ala berfirman

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (١٢٨)

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (Qs. At Taubah)

Dan Rasulullah memerintahkan dan menghasung untuk bersikap lemah lembut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Mudahkanlah dan jangan mempersulit, sampaikan kabar gembira dan jangan menakut-nakuti.” (HR. Bukhari & Muslim)

Imam Muslim juga meriwayatkan dalam Shahih-nya dari sahabat Abu Musa radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz “Sampaikanlah kabar gembira, jangan menakut-nakuti. Dan permudahlah jangan mempersulit.”

Al Bukhari juga meriwayatkan dalam Shahih-nya dari sahabat Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat mengenai seorang Arab Badui yang kencing di dalam masjid,

“Biarkan dia menyelesaikan kencinynya, kemudian tuangkanlah setimba air di tempat yang dikencinginya, atau siramlah dengan seember air, karena sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan bukan untuk mempersulit.”

Al Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Wahai Aisyah sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan dalam segala urusan.” Sedang Imam Muslim meriwayatkan dengan lafadz

“Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan menyukai kelembutan. Dan Dia memberi pada kelembutan itu sesuatu yang tidak diberikan Nya pada sikap kasar, dan apa yang tidak diberikan Nya pada yang lainnya.”

Imam Muslim juga meriwayatkan dalam Shahihnya dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

“Sesungguhnya tidaklah kelemahlembutan itu ada pada sesuatu melainkan ia akan memperindahnya, dan tidaklah kelemah lembutan itu dicabut dari sesuatu melainkan akan memperburuknya.”

Imam Muslim juga meriwayatkan, dari Jarir bin Adillah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barang siapa yang terhalangi dari bersikap lemah lembut, maka dia telah terhalang dari seluruh bentuk kebaikan.”

Allah juga memerintahkan kepada dua orang Nabi dan rasul yang mulia, Musa dan Harun agar mereka mendakwahi Fir’aun dengan lemah lembut. Allah berfirman,

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (٤٣)فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (٤٤)

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat dan takut.” (QS. Thaha: 43-44)

Allah juga mensifati para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia bahwa mereka adalah orang yang selalu berkasih saying sesama mereka. Allah ta’ala berfirman,

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesame mereka.” (QS. Al Fath: 29)

***
artikel muslimah.or.id
Rifqan Ahlassunnah bi Ahlissunnah karya Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad
(Diambil dari Edisi Terjemah: Nasihat Salaf Untuk Salafi)

Doamu Tak Kunjung Terkabul? Mungkin Ini Penyebabnya

Saudariku, semoga Allah menyayangi diriku dan juga dirimu…. Melakukan kesalahan dalam berdoa bisa menjadi salah satu penyebab sehingga doa tak kunjung terkabul. Mengenali berbagai kesalahan dalam berdoa merupakan salah satu bentuk ikhtiar agar Allah berkenan mengabulkan doa kita.

Saudariku, semoga Allah memberi ilmu yang bermanfaat kepada diriku dan juga dirimu…. Tahukah engkau apa saja kesalahan-kesalahan yang sering terjadi dalam berdoa?

1. Menyepelekan kekhusyukan dan perendahan diri di hadapan Allah ketika berdoa.

Allah ta’ala berfirman,

ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” (Q.S. Al-A’raf:55)

Allah ta’ala juga berfirman,

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَباً وَرَهَباً وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya, mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) segala kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (Q.S. Al-Anbiya’:90)

Seseorang yang berdoa seharusnya bersikap khusyuk, merendahkan diri di hadapan Allah, tawadhu’, dan menghadirkan hatinya. Kesemua ini merupakan adab-adab dalam berdoa. Seseorang yang berdoa juga selayaknya memendam keinginan mendalam agar permohonannya dikabulkan, dan dia hendaknya tak henti-henti meminta kepada Allah. Seyogianya, dia selalu ingin menyempurnakan doanya dan memperbagus kalimat doanya, agar doa tersebut terangkat menuju Al-Bari (Dzat yang Maha Mengadakan segala sesuatu), dan itu dilakukannya hingga Allah mengabulkan doa itu.

Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits, yang sanadnya dinilai hasan oleh Al-Mundziri, dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian berdoa kepada Allah maka berdoalah kepada-Nya dengan penuh keyakinan bahwa doa tersebut akan dikabulkan. Sesungguhnya, Allah tidaklah mengabulkan doa seorang hamba, yang dipanjatkan dari hati yang lalai.”

2. Putus asa, merasa doanya tidak akan terkabul, serta tergesa-gesa ingin doanya segera terwujud.

Sikap-sikap semacam ini merupakan penghalang terkabulnya doa. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

يستجاب لأحدكم ما لم يعجل يقول دعوت فلم يستجب لي

“Doa yang dipanjatkan seseorang di antara kalian akan dikabulkan selama dia tidak tergesa-gesa. Dirinya berkata, ‘Aku telah berdoa namun tidak juga terkabul.’”

Telah diketengahkan, bahwa seseorang yang berdoa sepatutnya yakin bahwa doanya akan dikabulkan, karena dia telah memohon kepada Dzat yang Paling Dermawan dan Paling Mudah Memberi.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

”Dan Rabbmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.”

(Q.S. Al-Mu’min:60)

Barang siapa yang belum dikabulkan doanya, jangan sampai lalai dari dua hal:

* Mungkin ada penghalang yang menghambat terkabulnya doa tersebut, seperti: memutus hubungan kekerabatan, bersikap lalim dalam berdoa, atau mengonsumsi makanan yang haram. Secara umum, seluruh perkara ini menjadi penghalang terkabulnya doa.
* Boleh jadi, pengabulan doanya ditangguhkan, atau dia dipalingkan dari keburukan yang semisal dengan isi doanya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu,

أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ” ما من مسلم يدعو بدعوة ليس فيها إثم ولا قطيعة رحم إلا أعطاه الله بها إحدى ثلاث : إما أن يعجل له دعوته وإما أن يدخرها له في الآخرة وإما أن يصرف عنه من السوء مثلها ” قالوا : إذن نكثر قال : ” الله أكثر “

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim memanjatkan doa yang tidak mengandung dosa dan tidak pula pemutusan hubungan kekerabatan, melainkan Allah akan memberinya salah satu di antara tiga hal: doanya segera dikabulkan, akan disimpan baginya di akhirat, atau dirinya akan dijauhkan dari keburukan yang senilai dengan permohonan yang dipintanya.” Para shahabat berkata, “Kalau begitu, kami akan banyak berdoa.” Rasulullah menanggapi, “Allah lebih banyak (untuk mengabulkan doa kalian).” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Ya’la dengan sanad jayyid; hadits ini berderajat sahih dengan adanya beberapa hadits penguat dari jalur ‘Ubadah bin Shamit yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Al-Hakim, serta dari jalur Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Ahmad dan selainnya.)

3. Berdoa dengan kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta bertawasul dengannya.

Tindakan ini merupakan salah satu bentuk bid’ah dan bentuk kelaliman dalam berdoa. Dasarnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan cara berdoa semacam itu kepada seorang shahabat pun. Ini membuktikan bahwa berdoa dengan menggunakan kedudukan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertawasul dengan para pemilik kedudukan adalah amalan bid’ah, serta merupakan sebuah cara ibadah baru yang dikarang-karang tanpa dalil. Demikian juga dengan segala bentuk sarana yang berlebih-lebihan (ghuluw) yang menyebabkan doa terhalang untuk terkabul.

Adapun riwayat,

اسألوا بجاهي فإن جاهي عند الله عظيم

“Bertawasullah dengan kedudukanku! Sesungguhnya, kedudukan sangat mulia di sisi Allah,”

maka riwayat ini merupakan sebuah kedustaan besar atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak sahih disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4. Bersikap lalim dalam berdoa, misalnya: doa yang isinya perbuatan dosa atau pemutusan hubungan kekerabatan.

Sebagaimana tiga perkara yang disebutkan, perkara keempat ini juga menjadi salah satu penghalang terkabulnya doa seorang hamba. Sungguh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

سيكون قوم يعتدون في الدعاء

“Akan muncul sekelompok orang yang lalim dalam berdoa.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, dan yang lainnya; hadits hasan sahih)

Allah ta’ala berfirman,

ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” (Q.S. Al-A’raf:55)

Contoh sikap lalim: berdoa agar bisa melakukan dosa, agar bencana ditimpakan, atau supaya hubungan kekerabatan terputus. Sebagaimana hadits riwayat At-Tirmidzi dan selainnya dari Ubadah bin Shamit, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ما على الارض مسلم يدعو الله بدعوة إلا آتاه الله إياها ، أو صرف عنه من السوء مثلها ، ما لم يدع بإثم أو قطيعة رحم

“Di muka bumi ini, tidak ada seorang muslim pun yang memanjatkan doa kepada Allah melainkan Allah pasti akan memberi hal yang dipintanya atau Allah akan memalingkannya dari keburukan yang senilai dengan isi doanya, sepanjang dia tidak memohon doa yang mengandung dosa atau pemutusan hubungan kekerabatan.” (H.r. Turmudzi dan Ahmad; dinilai sebagai hadits hasan-shahih oleh Al-Albani)

Saudariku, bersabarlah dalam menanti terkabulnya doa, perbanyak amalan saleh yang bisa menjadi sebab terwujudnya doa, dan jauhi segala kesalahan yang bisa menyebabkan doa tidak kunjung terkabul. Semoga Allah merahmati kita ….

Kita pungkasi tulisan ini dengan memohon kepada Allah, agar Dia tidak menolak doa kita.

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah puas, juga dari doa yang tidak terkabul.”

(H.R. Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa’i; hadits sahih)

***
muslimah.or.id
Penulis: Ummu Asiyah Athirah
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

Maraji’ (referensi):

* Al-Minzhar fi Bayani Katsirin min Al-Akhtha’ Asy-Syai’ah, karya Syekh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syekh, terbitan Jami’ah Al-Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyyah, tahun 1413 H.
* Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, karya Syekh Al-Albani, Maktabah Asy-Syamilah.

Selasa, 11 Oktober 2011

Untukmu…Yang Dirundung Rindu dan Sendu (Bag.2)

5. Kecenderungan hati itu soal selera…

Berbicara tentang kecenderungan hati, sifatnya relatif sukar untuk dipaksa dan sangat bergantung dengan selera pribadi. Oleh karena itu, hendaknya tidak usah banyak menyalahkan diri, plus dibumbui rasa rendah diri,
” Apakah saya kurang rupawan …hingga semua ini harus berakhir dengan penolakan?”…
“Apa saya begitu buruk dan kurang berharga? sehingga penolakan ini layak saya terima?”
Bantahlah perasaan itu dan katakan “tidak” pada diri Anda!
Anda berharga dan penolakan itu sedikit banyak berhubungan dengan selera dan parameter kriteria! Jadi, tidak usah terlalu dipikir laksana hidup dalam duka nestapa.

Kami akan mengajak Anda untuk berfikir logis dan menganalisa tentang sebuah peristiwa. Seseorang “bermimpi” dan membuat gambaran ideal di pikirannya tentang pasangan idaman masa depan. Dia bisa jadi memimpikan pasangan yang bagus rupa dan akhlaknya; mengetahui perkara agamanya dan berusaha komitmen terhadap ajaran agama, baik dalam teori maupun prakteknya; dia ingin pasangan yang begini dan begitu.

Akan tetapi, pada alam nyata, dia dihadapkan pada calon yang kurang sesuai dengan alam impiannya. Sikap apa yang akan diambilnya? mundur dengan teratur dan mencari yang lain saja…atau dia tidak keberatan “dipaksa” berdamai dengan kenyataan, kendatipun harus sedikit meruntuhkan bangunan idealisme yang telah dirancang? Kalaulah dia bukan tipe yang terlalu idealis, melainkan orang terlahir dengan sifat fleksibel; mudah menerima terhadap apa yang ada (muqtani’: orang yang qana’ah); dan punya sifat dasar penyabar…itu tidak terlalu jadi soal.

Beda halnya kalau dia adalah sosok yang cukup idealis (atau bahkan seorang idealis sejati dan perfeksionis), maka pada umumnya dia lebih suka mengambil langkah mundur, dibanding jika dia dipaksa menerima itu semua. Sebenarnya seseorang yang pada asalnya punya karakter dasar idealis pun bisa saja belajar berlapang dada terhadap kenyataan. Dia akan berusaha menerima kekurangan calon pasangan yang kurang sesuai dengan standar impiannya, kemudian dia belajar mengekang desakan idealismenya -bahkan egonya- dengan tali kekang syariat, agar dia tidak sampai menzhalimi pasangannya kelak, meskipun tidak terlalu sesuai dengan apa yang dia impikan.

Apabila memang dia ternyata memaksakan diri menerima kenyataan yang ada, minimal respon awalnya yang biasa terjadi adalah menggerutu [entah dalam hati ataupun dinampakkan]. Reaksi berupa gerutuan saja itu masih sangatlah lumayan dibanding dia harus dipaksa/memaksakan diri menerima, tapi ujung-ujungnya suatu saat nanti pasangannya tersebut akan dizhalimi dengan cara tidak terlalu diperhatikan haknya atau kezhaliman dalam bentuk lain; atau malah harus berakhir dengan perceraian yang memilukan, karena jiwanya masih berhasrat dan bernafsu menggapai pendekatan kriteria impian.

Kini saatnya sebuah jawaban atas suatu pertanyaan patut Anda renungkan, wahai orang yang mengalami penolakan. Manakah yang Anda lebih sukai, calon pasangan Anda yang sedang berusaha memenuhi impiannya itu menolak Anda di awal, atau calon pasangan Anda itu memaksakan dirinya menerima Anda, namun sangat mungkin akan terjadi hal-hal yang kurang Anda sukai dan banyak mengecewakan Anda nantinya? Lebih sedikit manakah madharatnya bagi diri Anda?

6. Buka mata, buka hati dan petiklah hikmah di balik setiap kejadian

Menyitir petuah bijak yang sering kita baca,

Tatkala mendung menggelayut, kita pun bersedih kehilangan mentari…
Tapi tak lama kemudian, Allahu akbar!…
Ternyata Allah hendak memberi kita indahnya bias pelangi….

Maka dari itulah, petiklah hikmah di balik musibah, yang bisa diibaratkan,

Memetik setangkai mawar nan indah dan mewangi, di antara semak belukar yang penuh duri…kendati menyebabkan jari kita terluka tatkala meraihnya…

Apakah hikmah yang bisa kita peroleh dari kejadian itu?

Hikmah diturunkannya musibah bagi tiap pribadi secara umum diantaranya,

a) Digugurkan sebagian dosa-dosa nya

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا ، إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidaklah rasa capek, rasa sakit (yang terus menerus), kekhawatiran, rasa sedih, gangguan, kesusahan yang menimpa seorang muslim sampai duri yang menusuknya kecuali Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan musibah tersebut.” (HR. Bukhari no. 5641, Muslim no. 1792)

b) Diangkat derajatnya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا يُصِيْبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ شَوْكَةٍ فَمَا فَوْقَهَا إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ بِهَا دَرَجَةً أَوْ حَطَّ عَنْهُ خَطِيْئَةً

“Jika ada sebuah duri mengenai seorang mukmin atau musibah yang lebih besar dari itu maka Allah akan mengangkat derajatnya atau menggugurkan dosanya, dengan sebab musibah itu.” (HR. Muslim no.6507 )

c) Pertanda Allah mencintai dan menghendaki kebaikan baginya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ

“Sesungguhnya besarnya balasan sebanding dengan beratnya ujian. Karena itu, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Barangsiapa ridha, maka Allah pun ridha. Dan barangsiapa murka, maka baginya murka Allah.” (HR. Tirmidzi no.2396, Syaikh Al-Albani berkata, “hasan shahih”, Maktabah Syamilah)

Adapun hikmah secara khusus berkaitan dengan pribadi tersebut contohnya: Bisa jadi Allah justru memberikan waktu bagi orang tersebut untuk lebih mempersiapkan bekal guna mengarungi pernikahan, seperti menuntut ilmu syar’i ataupun selainnya…karena kita tidak akan pernah tahu bagaimana hidup dan akhir kehidupan kita kelak; seperti apa pasangan yang kita dapatkan; akan berada di manakah kita setelah pernikahan. Maka dari itulah, bisa jadi penolakan itu baik akibatnya bagi Anda, sebagai sarana untuk lebih menempa diri Anda menjadi sosok yang lebih baik.

‘Ala kulli haal…Allah lebih tahu apa yang terbaik bagi para hambaNya. Suatu kebaikan dalam penilaian kita, belum tentu baik di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada keburukan dalam penetapan takdir sehubungan dengan takdir itu merupakan perbuatan Allah. Apa yang Allah lakukan, tentu seluruhnya mengandung kebaikan. Adapun yang buruk sehubungan dengan takdir, terletak pada dzat maqdurnya (bentuk takdirnya).

Contoh studi kasus: ditolak calon pasangan, sehingga sampai kini belum menikah.
Jika kita tinjau dari dzat maqdurnya (terjadinya penolakan itu sendiri), penolakan ini dipandang buruk, sehingga jiwa seseorang tidak menyukainya. Akan tetapi, jika dilihat dari kerangka sudut pandang lain, justru suatu hal yang dianggap buruk ini malah membawa kebaikan.

…فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا (19

“…Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Qs. An-Nisaa’: 19)

…وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ (216

“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 216)

Di antara rahasia ayat ini dan hikmahnya adalah, bahwa Allah mengharuskan hambaNya untuk bersikap pasrah kepada Dzat Yang Mengetahui berbagai akibat urusannya. Allah pun mengharuskan setiap hamba agar ridha dengan apa yang Dia tentukan atasnya, karena dia mengharap padaNya untuk memberi hal yang terbaik bagi hamba tersebut.

“..di antara belas kasih Allah kepada hambaNya ialah mungkin jiwa hamba menginginkan salah satu hal keduniaan, yang mana ia menganggap, dengan hal itu dia dapat mencapai tujuannya. Tapi Allah mengetahui bahwa itu merugikan dan menghalanginya dari sesuatu yang bermanfaat baginya, lalu Dia pun menghalangi antara dirinya dengan keinginannya itu, sehingga hamba tersebut dalam keadaan tidak suka, sementara itu ia tidak mengetahui bahwa Allah telah berbelas kasih kepadanya , di mana Dia memberikan perkara yang bermanfaat baginya dan memalingkan perkara yang merugikan dirinya.” (Kupas Tuntas Masalah Takdir hal.48, dengan sedikit editan pada segi penulisan)

Hikmah dari sisi lain, mungkin tidak untuk saat ini langsung dirasa, tapi bisa jadi suatu saat nanti…atau malah di akhirat kelak. Bisa jadi dengan cobaan ini, sebagai peluang Anda meraup berbagai macam pahala. Baik pahala atas usaha Anda dalam berjuang menyempurnakan separuh dien’ atau pahala atas kesabaran yang diiringi keikhlasan dan keridhaan; pahala atas sikap tawakkal Anda setelah berusaha; pahala karena Anda banyak berdoa dan menjadi lebih dekat dengan Allah (karena mungkin sebelum ada kejadian ini Anda banyak melalaikanNya); atau pahala lain yang erat kaitannya dengan reaksi sikap Anda ketika ditimpa musibah ini. Jika Anda bisa menangkap peluang itu, niscaya hal tersebut akan mempermudah Anda untuk meretas jalan menuju FirdausNya. Apakah Anda tidak suka menjadi “Hamba Perindu FirdausNya?!”

7. Banyak berdoa’


مَا أَصَابَ أَحَدًا قَط هَمٌّ وَلاَ حُزْنٌ فَقَالَ: (اللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ ابْنُ عَبْدِكَ ابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ وَنُوْرَ صَدْرِيْ وَجَلاَءَ حُزْنِيْ وَذَهَابَ هَمِّيْ) إلا أذهب الله همه وحزنه وأبدله مكانه فرجا قال فقيل يا رسول الله ألا نتعلمها فقال بلى ينبغي لمن سمعها أن يتعلمها

“Tidaklah seseorang ditimpa suatu kegundahan maupun kesedihan lalu dia berdo’a:

اللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ ابْنُ عَبْدِكَ ابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ وَنُوْرَ صَدْرِيْ وَجَلاَءَ حُزْنِيْ وَذَهَابَ هَمِّيْ

“Ya Allah, sesungguhnya saya adalah hamba-Mu, putra hamba laki-laki-Mu, putra hamba perempuan-Mu, ubun-ubunku ada di Tangan-Mu, telah berlalu padaku hukum-Mu, adil ketentuan-Mu untukku. Saya meminta kepada-Mu dengan seluruh Nama yang Engkau miliki, yang Engkau menamakannya untuk Diri-Mu atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu atau yang Engkau simpan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu. Jadikanlah Al-Qur`an sebagai musim semi (penyejuk) hatiku dan cahaya dadaku, pengusir kesedihanku serta penghilang kegundahanku.” Maka akan Allah hilangkan kegundahan dan kesedihannya dan akan diganti dengan diberikan jalan keluar dan kegembiraan.” Tiba-tiba ada yang bertanya: “Ya Rasulullah, tidakkah kami ajarkan do’a ini (kepada orang lain)”? Maka Rasulullah menjawab: “Ya, selayaknya bagi siapa saja yang mendengarnya agar mengajarkannya (kepada yang lain).”
(HR. Ahmad no.3712 dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani)

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وِالْكَسَلِ وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari gundah gulana, sedih, lemah, malas, kikir, penakut, terlilit hutang dan dari tekanan/penindasan orang lain.” (HR. Al-Bukhari 7/158 dari Anas radhiyallahu ‘anhu)

8. Menjauhlah dari jerat perangkap setan

Sesungguhnya setan merupakan musuh utama bagi manusia. Setan senantiasa menyesatkan manusia lewat celah terlemah yang ada pada manusia. Berhati-hatilah dari tipu daya yang disisipkannya, lewat musibah yang menimpa diri Anda.

Peringatan khusus bagi wanita:

Cara berpikir dan bertindak wanita seringkali didominasi perasaannya. Maka waspadalah terhadap titik kekuatan sekaligus kelemahan wanita ini. Sangatlah mungkin bagi setan menyeret Anda untuk larut dalam duka, hingga akhirnya dia berhasil menjerumuskan Anda ke dalam tindakan yang sia-sia, menghalangi Anda menuju pintu kebaikan, melalaikan Anda dari mengingatNya dan mengingat hari akhir, bahkan menjerumuskan Anda ke dalam perbuatan dosa dan berujung dengan siksaan neraka -wal’iyadzubillaah-.

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ (16) ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ (17

“Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka yang bersyukur (ta’at).” (Qs. Al-A’raf: 16-17)

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ (6

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Qs. Fathir: 6)

وَلاَ يَصُدَّنَّكُمُ الشَّيْطَانُ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (62

“Dan janganlah kamu sekali-kali dipalingkan oleh syaitan; sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Qs. Az-Zukhruf: 62)

Contoh minimalis (khususnya bagi wanita):

Jika seorang wanita merasa sedih, terlebih ketika keadaan hormon kurang stabil (baca: dalam kondisi datang bulan), seringkali dia merasa ada awan hitam menggulung bergelayut di atasnya, sehingga hidupnya pun tampak berwarna kelabu..bahkan seolah-olah warna hidupnya hitam pekat.

Walhasil seringkali waktunya terbuang untuk banyak terpekur meratapi tragedi hidup yang dia alami, dan tenggelam menangisi episode kisah melankolia…sehingga dia banyak melalaikan menuntut ilmu atau banyak terlupa kewajiban lainnya baik kewajiban yang berhubungan dengan Allah (ibadah), atau berhubungan dengan orangtua, atau berhubungan dalam masyarakat ataupun yang lainnya. Kesedihannya itu banyak menghalanginya melakuan kebajikan, karena hari-hari dan waktunya dipenuhi dengan luncuran bulir-bulir air mata duka.

Sekarang coba sedikit kita renungkan…

Apakah ada manfaat besar yang kita peroleh jika kita terus-menerus mengucurkan tetesan bening itu dari mata kita, hanya demi menangis sedih meratapi nasib, yang kadang terasa bagaikan korban penolakan ternaas sejagad raya?
Tidak! Bahkan tanggung jawab dan kewajiban Anda sebagai seorang muslim/muslimah sudah mengantri untuk ditunaikan di luar sana.
Sudahkah Anda tuntas menghafal Al-Qur’an bahkan hingga derajat itqan, lalu mengamalkannya?
Sudahkah Anda tuntas mempelajari banyak disiplin ilmu yang berhubungan dengan agama yang mulia ini?
Sudahkah Anda menghafal teks (mutuun) kitab atau kutayyib (buku yang berukuran lebih kecil/buku mini atau buku yang tidak terlampau tebal sebagaimana kitab)?
Sudahkah Anda memegang peranan penting dalam dakwah di keluarga; bahkan masyarakat?
Jika jawaban mayoritasnya adalah “belum”, maka Anda harus bergegas bangkit dari duka Anda! Karena ternyata masih banyak amanah yang belum Anda tunaikan dan masih banyak hal bermanfaat yang belum Anda lakukan! Selayaknya Anda tidak usah bersikap hiperbolis membesar-besarkan duka lara yang dirasa amat menorehkan luka.

Lamaran ditolak, Dukun bertindak ?!

Ada sebuah kalimat dan fenomena yang sering tersebar di masyarakat awam pada umumnya, berkenaan dengan “tragedi” penolakan calon pasangan, yaitu “Lamaran ditolak, Dukun bertindak!” -wal’iyaadzubillah-. Bagaimanakah konsekuensi perkataan dan realisasi perbuatan ini jika ditimbang dengan hukum syari’at ?

Ketahuilah, bahwa perkara perdukunan dan sihir merupakan perkara yang sangat fatal. Bagaimana tidak? Perdukunan dan sihir telah berbuat tindak kesyirikan, dan kesyirikan adalah dosa besar nomor wahid [2]; kezhaliman yang paling besar dan bahkan pada kondisi tertentu sihir itu menjadi tindak kekufuran yang bisa mengeluarkannya dari Islam [3] ; bisa menyebabkan pelakunya masuk ke neraka dan kekal di dalamnya jika dia belum bertaubat ketika nyawa lepas dari raga.

لاَ تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13

“…Janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” (Qs. Luqman: 13)

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا(48

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (Qs. An-Nisa: 48)

مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (72

“…sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolongpun.” (Qs. Al-Ma’idah: 72)

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ » . قُلْنَا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ ، وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ » . وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ « أَلاَ وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ ، أَلاَ وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ » . فَمَا زَالَ يَقُولُهَا حَتَّى قُلْتُ لاَ يَسْكُتُ

Dari ‘Abdurrahman ibn Abi Bakrah, dari ayahnya radhiallahu ‘anhu, dan ayahnya berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kalian kuberi tahu beberapa dosa yang paling besar?” Kami pun menjawab, “iya, wahai Rasulullah.” Beliau berkata, “Mempersekutukan Allah (syirik), durhaka kepada kedua orangtua”, dan Beliau ketika itu berdiri sambil bersandar kemudian duduk sembari berkata, “Ketahuilah (demikian juga) persaksian palsu. Ketahuilah (demikian juga) persaksian palsu.” Dan Beliau terus mengatakannya, hingga aku pun berkata : “Beliau tidak diam.” (HR. Bukhari )

Seseorang yang ditolak lamarannya, bisa jadi pergi ke dukun untuk meminta agar dukun tersebut mempelet calon korban dengan salah satu bentuk sihir. Di antara bentuk sihir yang biasa dilakukan adalah sihir cinta (sihir mahabbah, dikenal juga dalam istilah orang Indonesia sebagai “pelet”, atau Al-’Athaf الْعَطْفُ ), atau bisa pula bentuk sihir yang lain seperti sihir gila, sihir sakit, “mengirim” jin agar merasuki tubuh korban sehingga jin itu dapat mengganggu; menyakiti atau bahkan membunuh korban.

Syaikh Muhammad At-Tamimi, dalam kitabnya Nawaqidhul Islam berkata tentang 10 macam pembatal keislaman, dan salah satu di antara pembatal keislaman adalah sihir:

السابع : السحر، ومنه الصرف والعطف، فمن فعله أو رضي به؛ كفر، والدليل قول الله: (وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُر

“Ketujuh: Sihir, diantaranya yaitu Ash-Sharf*) dan Al-’Athaf**). Barangsiapa melakukannya atau ridha dengannya maka dia kafir. Dalilnya adalah firman Allah,

وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُر ”

*): Ash-Sharf adalah jenis sihir lewat perantara setan, untuk membuat seseorang membenci dan tidak suka kepada orang lain atau menjauhkan antara satu orang dengan lainnya. Ini banyak digunakan dalam hubungan suami istri ataupun selainnya. Ash-Sharf ini juga dikenal sebagai sihir At-Tafriq (karena gunanya untuk memisahkan atau menjauhkan hubungan dua orang, dan banyak digunakan pada hubungan suami istri)

**) Al-‘Athaf adalah jenis sihir lewat perantara setan, untuk menjadikan seseorang menyukai/cinta dan “lengket” kepada yg lain. Ini yang lumrah disebut pelet atau aji pengasihan dalam istilah orang Indonesia.

وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولاَ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (102

“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.
Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami ) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah keuntungan baginya, dan amatlah jahat perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 102)

Pada ayat ini, memang yang disebut sihir hanya Ash-sharf saja, hal itu terdapat pada firman Allah,

فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ

Akan tetapi, masuk pula di dalamnya sihir dari jenis lain seperti Al-’Athaf. Pada ayat ini hanya disebutkan Ash-Sharf saja karena yang banyak terjadi, dan pada asalnya sihir yang banyak dilakukan adalah bentuk sihir Ash-Sharf ini.

Untuk saudari-saudariku tercinta yang sedang mendamba belahan jiwa yang tak kunjung tiba…semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat bagi jiwa yang dilanda derita. Tetaplah berusaha, berdo’a , bertawakkal, bersabar dan bersikap optimis menghadapi serba-serbi pra rumah tangga. Mudah-mudahan Sang Pujaan kan menjemputmu di taman kebaikan…mempersuntingmu dan menjadikanmu ratu di istana impian, dan ia yang kan mengetuk pintu hatimu di beranda cinta dua insan.

——

[2] Untuk lebih rinci, silahkan merujuk pada kitab Al-Kaba’ir buah karya Imam Adz-Dzahabi.

[3] Ada perbedaan pendapat tentang status tukang sihir. Apakah tukang sihir itu kafir secara mutlak atau ada perincian hukumnya. Silahkan merujuk ke kitab tafsir Adhwa’ul Bayan, Fathul Majid, Al-Qaul Al-Mufid, Taisir Al-’Aziz Al-Hamid, Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, dan syuruh (penjelasan-penjelasan) Nawaqidh Al-Islam di antaranya oleh Syaikh Shalih ibn Fauzan Al-Fauzan.

***
Artikel muslimah.or.id
Penulis: Fatih Daya Khairani
Murajaah: Ust. Ammi Nur Baits
Maraji’:
1. Syarh Riyadh Ash-Shalihin min kalam Sayyid Al-Mursalin, Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-’Utsaimin dengan tahqiq: Prof Abdullah Ath-Thayyar, Darul Wathan, Riyadh-KSA, 1996
2. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Hajjaj, Imam An-Nawawi dengan tahqiq: Syaikh Khalil Ma’mun Syiha, Darul Ma’rifah, Beirut-Libanon,1997
3. Al-Qur’an terjemahan Depag
4. Kupas Tuntas Masalah Takdir, Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Pustaka Ibn Katsir, Bogor, 2005
5. Al-Kaba’ir Ma’a Syarh, Syaikh Muhammad Ibn Shalih Al-’Utsaimin dengan tahqiq: Abu ‘Abdirrahman ‘Adil ibn Sa’ad, Darul Kutub Al-’Ilmiyyah, Beirut-Libanon, 2006
6. Syarh Nawaqidh Al-Islam, Syaikh Shalih ibn Fauzan Al-Fauzan, Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh-KSA, 2005
7. Syarh Nawaqidh Al-Islam, Syaikh ‘Abdurrahman ibn Nashir Al-Barrak, dalam format pdf yang diperoleh dari www.islamlight.net
8. Fathul Bari Bi Syarhi Shahih Al-Bukhari, Al-Imam Al-Hafizh Ibn Hajar Al-’Asqalani dengan tahqiq: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ibn Baz dan tarqim: Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, Darul Hadits, Kairo, 2004
Untukmu…Yang Dirundung Rindu dan Sendu (Bag.1)
Share

Pernikahan seringkali harus ditempuh dalam kurun yang cukup panjang dalam kehidupan seseorang. Pada kasus beberapa orang, ada yang sangat diberi kemudahan oleh Allah dalam menggapainya. Akan tetapi, pada beberapa orang yang lain, dia kerapkali harus jungkir balik menghadapi banyak rintangan dalam menggapai mahligai pernikahan.

Salah satu rintangan yang banyak dihadapi oleh pejuang pernikahan adalah penolakan. Penolakan oleh calon pasangan bisa disebabkan karena faktor ketidakcocokan dari segi agama; rupa; harta; maupun lainnya. Andaikata yang mengalami ujian penolakan ini bersikap “biasa saja”, tentu tidaklah mengapa. Akan tetapi, tidak sedikit juga yang merasa kecewa bahkan hingga mencapai tahap putus asa. Lalu, bagaimanakah solusinya?

1. Menyikapi suatu masalah dengan sudut pandang ilmu syariat

Pola pikir dan sudut pandang seseorang, sangat menentukan bagaimana respon orang tersebut dalam menyikapi sebuah problema. Apabila dia meluruskan mindset dengan benar, maka -Insya Allah- tidak akan timbul respon tragedi yang bernama “deraan rasa kecewa dan putus asa”.

Pola pikir yang benar untuk menghadapi hal semacam ini, yakni pola pikir yang dilandasi dengan ilmu syari’at, sehingga akan menghasilkan akal yang jernih; hati yang sehat dan sikap yang tepat dalam menyikapi suatu kejadian. Pola pikir inilah yang mencerminkan kedalaman ilmu agamanya, kokohnya iman dan takwa yang begitu kuat terhujam mengakar di dadanya. Maka, pasung dan perangilah pola pemikiran yang hanya berlandaskan emosi negatif dan sudut pandang melankolisme semata. Respon kejadian berupa perasaan sedih dan sahabat-sahabatnya, merupakan hal yang manusiawi jika hanya untuk sesaat. Akan tetapi, jika dibiarkan berlarut-larut malah bisa membuka pintu maksiat.

2. Bersikaplah ridha, sabar, tawakkal

Perkara jodoh memang sudah ditakdirkan. Jodoh termasuk perkara rizki seseorang, dan penetapan rizki seseorang sekaligus takdir atas semua makhluk Allah ini memang telah usai pencatatannya di Al-Lauh Al-Mahfuzh 50.000 tahun sebelum Allah mencipta alam semesta.

Takdir seseorang itupun juga sudah ditentukan di catatan malaikat, ketika orang tersebut masih dalam kandungan ibunda pada usia 4 bulan di dalam kandungan. Maka, sungguh beruntung orang-orang yang dimudahkan mengimani Qadha dan Qadar yang telah menjadi ketetapan bagi dirinya, hingga dia pun bisa merasakan manfaatnya yang besar tiada terkira.

Salah satu manfaat beriman kepada Qadha dan Qadar, Anda meyakini bahwa kejadian penolakan itu sudah Allah tetapkan di Al-Lauh Al-Mahfuzh sana. Betapapun Anda sudah mati-matian berusaha dan berdo’a. Disamping itu, kejadian penolakan itu sudah berada dalam catatan takdir Anda yang dipegang oleh malaikat.

Kalimat ini tidak membawa konsekuensi adanya penafian usaha manusia, atau saran kepada manusia agar tidak usah berusaha saja, sehingga hamba bisa bermalas-malasan dalam menghadapi segala sesuatu hanya karena alasan “toh sudah ditakdirkan.” Tidak…sama sekali bukan begitu. Statemen ini justru digunakan untuk membuka cakrawala pemikiran seseorang, bahwa apa yang Allah takdirkan bagi Anda pasti menimpa Anda, tiada pernah sekejap pun luput dari Anda. Begitu pula sebaliknya, Anda tidak akan pernah bisa mendapat apa yang Allah tidak takdirkan bagi Anda.

Allah Ta’ala berfirman,

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ(22) لِكَيْ لاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَاكُمْ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ(23) الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَمَنْ يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ(24)

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian, dan supaya kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, (yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. Dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Qs. Al-Hadid: 22-24)

Manfaat lain iman terhadap Qadha dan Qadar, supaya Anda bisa lebih bersabar; bersyukur; dan ridha terhadap segala sesuatu yang menimpa diri Anda. Bukan hanya bisa terlalu bersedih dan dirundung duka ketika ada musibah datang melanda. Kalau Anda sudah menyadarinya, kenapa pula Anda harus berduka terhadap sesuatu yang memang sudah ditakdirkan olehNya?? Tidak perlu terlalu risau dan cemas terhadap masa depan Anda, teruslah berdoa; berusaha; bertawakkal dan bersabar; serta ridha pada segala ketetapanNya.

Berjuanglah dengan gigih, niscaya Anda akan dipermudah dalam menempuh apa yang Allah takdirkan bagi diri Anda -Insya Allah-

عن أبي الزبيرعن جابر قال جاء سراقة بن مالك بن جعشم قال يارسول الله بين لنا ديننا كأنا خلقنا الآن فيما العمل اليوم أفيما جفت به الاقلام وجرت به المقادير ام فيما نستقبل قال لا بل فيما جفت به الاقلام وجرت به المقادير قال ففيم العمل قال زهير ثم تكلم أبو الزبير بشئ لم افهمه فسألت ما قال؟ فقال: اعملوا فكل ميسر

Dari Abu Az-Zubair, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Suraqah ibn Malik ibn Ju’syum datang ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, jelaskanlah pada kami mengenai perkara agama kami, seolah-olah kami baru diciptakan saat ini, yaitu mengenai amal perbuatan kami hari ini, apakah amalan tersebut berdasarkan pada apa yang tertulis oleh tinta pena yang telah mengering [1] dan berdasar pada takdir-takdir yang telah ditetapkan, ataukah berdasarkan apa yang akan kita hadapi?”
Zuhair berkata, “Lalu Abu Az-Zubair berkata sesuatu yang tidak saya mengerti.”, maka saya pun bertanya,”Apa yang Rasulullah ucapkan?”. Kemudian Abu Zubair menjawab, “beramallah! Karena semuanya telah dimudahkan.” (HR.Muslim, no.2648)

3. Bertakwa

Ketakwaan insan, membuahkan manfaat yang sangat banyak. Salah satu manfaat takwa adalah: Allah akan memberikan jalan keluar untuk problematika yang dia hadapi, dan Allah akan memberikan rizki baginya dari arah yang tidak dia sangka.

…وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (3)

“…Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Qs.Ath-Thalaq: 2-3)

4. Jadilah mukmin yang kuat imannya dan bermental baja

Dampak penolakan yang dirasakan laki-laki, biasanya lebih ringan dirasa bagi jiwa dibanding penolakan yang dirasakan wanita. Andaikata makhluk yang berjiwa halus (baca: wanita) ini ditolak, seringkali mereka merasa bak sedang terlempar ke dalam palung melankolisme, yang dalamnya tak bisa diungkap lewat untaian kata.

Berbagai rasa pun bersatu padu, menghasilkan penyakit “pilu sendu yang mengharu biru”. Ada sejumput rasa sesak dalam dada; sedih; kecewa; malu; menjadi rendah diri (minder); bahkan putus asa…Amboi, sungguh komplit sekali rasanya…-Subhanallah-. Betul-betul perpaduan emosi negatif yang sempurna! Duhai manusia..andai saja dia bisa bersikap tegar, tabah, dan tegak berdiri dengan berlapang dada ketika penolakan itu menimpanya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Akan tetapi, keduanya tetaplah memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, dan jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan, ‘Seandainya aku berbuat demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah engkau berkata: ‘Ini sudah menjadi takdir Allah. Setiap apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan “lau” (seandainya) dapat membuka pintu setan.” (HR. Muslim no.2664, di dalam kitab Al-Qadar)

Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah telah menjelaskan maksud perkataan “mukmin yang kuat” dalam Syarh Riyadh Ash-Shalihin,

المؤمن القوي: يعني في إيمانه وليس المراد القوي في بدنه، لأن قوة البدن ضرراً على الإنسان إذا استعمل هذه القوة في معصية الله، فقوة البدن ليست محمودة ولا مذمومة في ذاتها، إن كان الإنسان استعمل هذه القوة فيما ينفع في الدنيا والآخرة صارت محمودة، وإن استعان بهذه القوة على معصية الله صارت مذمومة

لكن القوة في قوله صلى الله عليه وسلم المؤمن القوي أي قوي الإيمان، ولأن كلمة القوي تعود إلى الوصف السابق وهو الإيمان، كما تقول الرجل القوي: أي في رجولته، كذلك المؤمن القوي يعني في إيمانه، لأن المؤمن القوي في إيمانه تحمله قوة إيمانه على أن يقوم بما أوجب الله عليه، وعلى أن يزيد من النوافل ما شاء الله….

“Yang dimaksud dengan mukmin yang kuat adalah kuat imannya, bukanlah yang kuat badannya. Karena kuatnya badan bisa membahayakan manusia jika dia menggunakan kekuatannya ini untuk bermaksiat kepada Allah. Kuatnya badan belum tentu mutlak terpuji ataupun tercela.

Apabila orang tersebut menggunakan kekuatan ini dalam hal yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya, maka kekuatan itu menjadi suatu hal yang terpuji. Akan tetapi, jika kekuatan ini justru membantu dia melakukan tindak maksiat terhadap Allah, maka kekuatan ini malah menjadi tercela.

Akan tetapi, kata kuat yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Mukmin yang kuat” yakni kuatnya iman, karena kata kuat kembali kepada hal yang disifati sebelumnya, yaitu iman. (kata “kuat” di dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam digunakan untuk menyifati mukmin, dan kata “mukmin” artinya orang yang beriman, sehingga kata kuat ini menyifati keimanan yang ada pada diri orang yang beriman. -pen).

Sebagaimana ketika Anda berkata, “Seorang lelaki yang perkasa.” yakni kuat dalam hal kejantanannya. Begitupula berkenaan dengan kata mukmin yang kuat, maka kuat yang dimaksud adalah keimanannya, karena seorang mukmin yang kuat imannya akan mampu melakukan kewajiban yang Allah limpahkan kepada dirinya, dan dia mampu menambah ibadah sunnahnya sesuai dengan yang Allah kehendaki bagi dirinya.”

Oleh karena itu, buktikan dan tunjukkanlah sikap seorang yang kuat imannya, “Baiklah, saya memang ditolak….tapi saya berusaha mengendalikan diri saya untuk tetap tegar, lapang dada, sabar dan ridha ! Saya tetap bisa menjalani hari-hari saya tanpa rasa kecewa Insya Allah. Saya mukmin yang ingin dicintaiNya dan saya merasa bahagia terhadap segala yang Allah tetapkan bagi diri saya…karena apapun ketetapanNya, itulah yang terbaik bagi saya.”

عن صهيب قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

Dari Shuhaib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan perkaranya orang mukmin. Sesungguhnya semua perkaranya adalah baik dan tidaklah hal ini dimiliki oleh seorangpun kecuali oleh orang mukmin. Jika dia diberi kenikmatan/ kesenangan, dia bersyukur maka ini menjadi kebaikan baginya. Sebaliknya jika dia ditimpa musibah (sesuatu yang tidak menyenangkan), dia bersabar, maka ini pun menjadi kebaikan baginya.” (HR. Muslim no.2999 )

——–

[1] Yang dimaksud dengan “ keringnya pena” ada beberapa keterangan ulama sebagai berikut:

a)

أَيْ مَضَتْ بِهِ الْمَقَادِير ، وَسَبَقَ عِلْم اللَّه تَعَالَى بِهِ ، وَتَمَّتْ كِتَابَته فِي اللَّوْح الْمَحْفُوظ ، وَجَفَّ الْقَلَم الَّذِي كُتِبَ بِهِ ، وَامْتَنَعَتْ فِيهِ الزِّيَادَة وَالنُّقْصَان

“Penetapan takdir seluruh makhluk telah terjadi, pengetahuan Allah telah mendahuluinya, telah sempurna penulisan takdir di Al-Lauh Al-Mahfuzh, dan telah kering tinta pena yang digunakan untuk menulis lembaran takdir, sehingga tidak mungkin mengalami penambahan dan pengurangan.” (Syarh Muslim li An-Nawawi)

b)

( جَفَّ الْقَلَمُ )
إِشَارَة إِلَى أَنَّ الَّذِي كُتِبَ فِي اللَّوْح الْمَحْفُوظ لَا يَتَغَيَّر حُكْمه ، فَهُوَ كِنَايَة عَنْ الْفَرَاغ مِنْ الْكِتَابَة ؛ لِأَنَّ الصَّحِيفَة حَال كِتَابَتهَا تَكُون رَطْبَةً أَوْ بَعْضهَا وَكَذَلِكَ الْقَلَم فَإِذَا اِنْتَهَتْ الْكِتَابَة جَفَّتْ الْكِتَابَة وَالْقَلَم ، وَقَالَ الطِّيبِيُّ هُوَ مِنْ إِطْلَاق اللَّازِم عَلَى الْمَلْزُوم ؛ لِأَنَّ الْفَرَاغ مِنْ الْكِتَابَة يَسْتَلْزِم جَفَاف الْقَلَم عِنْد مِدَادِهِ . قُلْت : وَفِيهِ إِشَارَة إِلَى أَنْ كِتَابَةَ ذَلِكَ اِنْقَضَتْ مِنْ أَمَدٍ بَعِيدٍ . وَقَالَ عِيَاض : مَعْنَى جَفَّ الْقَلَم أَيْ لَمْ يَكْتُب بَعْد ذَلِكَ شَيْئًا …

“Mengisyaratkan bahwa hukum segala sesuatu yang telah ditulis di Al-Lauh Al-Mahfuzh tidak akan berubah. Kalimat ini merupakan ungkapan yang menunjukkan telah selesainya pencatatan takdir. Karena lembaran kertas ketika dalam proses ditulisi umumnya masih basah. Demikian pula tinta pena, ketika penulisan telah selesai maka catatan dan tinta pena akan mengering. Ath-Thibi berkata, “lafazh “keringya pena” ini berisi konsekuensi sebab akibat, karena tuntasnya pencatatan takdir pasti mengakibatkan keringnya tinta pada pena pencatat takdir. Ibn Hajar berkata, “di dalam lafazh ini terdapat isyarat bahwa pencatatan takdir telah usai dalam rentang waktu yang lama. ‘Iyadh berkata, “makna keringnya pena yakni pena tersebut tidak akan lagi digunakan untuk mencatat lagi takdir apapun.” (Fathul Bari)

-Bersambung Insya Allah-

***
artikel muslimah.or.id
Penulis: Fatih Daya Khairani
Murajaah: Ust Ammi Nur Baits
Maraji’:
1. Syarh Riyadh Ash-Shalihin min kalam Sayyid Al-Mursalin, Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-’Utsaimin dengan tahqiq: Prof Abdullah Ath-Thayyar, Darul Wathan, Riyadh-KSA, 1996
2. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Hajjaj, Imam An-Nawawi dengan tahqiq: Syaikh Khalil Ma’mun Syiha, Darul Ma’rifah, Beirut-Libanon,1997
3. Al-Qur’an terjemahan Depag
4. Kupas Tuntas Masalah Takdir, Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Pustaka Ibn Katsir, Bogor, 2005
5. Al-Kaba’ir Ma’a Syarh, Syaikh Muhammad Ibn Shalih Al-’Utsaimin dengan tahqiq: Abu ‘Abdirrahman ‘Adil ibn Sa’ad, Darul Kutub Al-’Ilmiyyah, Beirut-Libanon, 2006
6. Syarh Nawaqidh Al-Islam, Syaikh Shalih ibn Fauzan Al-Fauzan, Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh-KSA, 2005
7. Syarh Nawaqidh Al-Islam, Syaikh ‘Abdurrahman ibn Nashir Al-Barrak, dalam format pdf yang diperoleh dari www.islamlight.net
8. Fathul Bari Bi Syarhi Shahih Al-Bukhari, Al-Imam Al-Hafizh Ibn Hajar Al-’Asqalani dengan tahqiq: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ibn Baz dan tarqim: Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, Darul Hadits, Kairo, 2004

Senin, 10 Oktober 2011

Bila Buah Hati Anda Takut Hantu

Posted by SALAFIYUNPAD™

Hati orang tua mana yang tidak kecewa, bila si buah hati menjadi anak yang penakut. Kalau ketakutan si anak masih dalam batas wajar, misalnya takut terhadap binatang yang lebih besar badannya dari dirinya, atau takut terhadap binatang yang menjijikkan, terhadap orang-orang asing yang belum dikenalnya; semua itu tidaklah menjadi masalah besar dalam pendidikan pribadi anak. Tetapi takut terhadap kegelapan dan takut hantu, hal ini bisa berakibat fatal bagi pembentukan pribadi anak, bila tidak ditangani sedini mungkin. Bukankah kita menginginkan agar anak-anak menjadi manusia mukmin dan mukminah yang kuat imannya, mampu mengemban amanah ubudiyyah lillahi wahdah (beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata) dengan tauhid dan tidak takut kepada siapapun, kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata serta tidak takut celaan manusia?

Marilah kita cermati, mengapa anak-anak menjadi takut hantu dan bagaimana dampak negatifnya. Pada dasarnya, anak terlahir dengan tidak mempunyai rasa takut terhadap segala sesuatu. Setelah dia tumbuh seiring dengan perkembangannya mengenal lingkungan, bertambahlah pengalamannya. Ada yang takut berjalan karena pernah jatuh. Ada yang takut naik becak, karena pernah melihat becak terguling bersama tukang becak dan penumpangnya. Demikian pula anak yang takut hantu. Dia menjadi takut hantu karena mendapat informasi tentang hantu, baik dari temannya, kerabatnya, orang tuanya sendiri atau informasi lainnya.

Dewasa ini berbagai media informasi, semisal televisi, radio, buku bacaan, VCD dan yang lainnya, marak dengan cerita-cerita misteri dan seram. Mereka semua menebar kerusakan hanya demi mengeruk keuntungan, tanpa memperdulikan dampak buruk bagi mental bangsa. Siapapun orangnya, tanpa terkecuali orang dewasa, terlebih lagi anak-anak, bila sering dicekoki dengan cerita-cerita bertema syetan dan cerita seram lainnya, akan tertanam pada dirinya jiwa penakut. Hal ini tidaklah mengherankan, mengingat ia selalu menerima informasi yang berupa bisikan syetan dan perasaan was-was. Padahal kita selaku mukmin diperintahkan untuk selalu berlindung kepada Allah k dari godaan syetan. Nabi r besabda,
إِنَّ الشَيْطَانَ يَجْرِيْ مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ



Sesungguhnya syetan itu mengalir pada Bani Adam pada aliran darahnya.[1]

Rasa takut yang mencekam terhadap hantu dan syetan, bisa menjadi syirik akbar, yang mengeluarkan pelakunya dari Islam, bila membawa manusia bersikap beribadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Misalnya, karena takut syetan, seseorang mengucapkan mantera untuk jin, yang biasanya mantera ini didapat dari dukun atau biasa disebut dengan “orang pintar” padahal sok pintar. Atau ia menggantung jimat di badannya, di rumahnya, di kendaraanya dan lain-lain, dengan keyakinan bahwa jimat tersebut dapat menolak bala dan bahaya. Adapun bila rasa takut (yang sebenarnya tidak beralasan itu) tidak membawa kepada beribadah (apapun bentuknya) kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, yakni hanya ketakutan dan cekaman rasa was-was, maka hal ini bertolak belakang dengan ajaran Islam, yang memerintahkan kita untuk tidak takut kepada selain Allah, mengurangi kesempurnaan tauhid dan merupakan sifat pengecut yang tercela.[2]

MENANGGULANGI SIFAT TAKUT HANTU PADA ANAK



Setelah memahami penyebab rasa takut pada anak, maka kita bisa mengambil kesimpulan, sebagai solusi untuk membasmi rasa takut tersebut. Di antaranya sebagai berikut:

* Menanamkan tauhid dan keimanan pada anak.

Orang tua atau pendidik harus menjelaskan kepada anak, bahwa tidak ada kekuatan yang paling kuat, kecuali kekuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seluruh makhluk, termasuk jin dan syetan berada di bawah pengaturan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bila Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mentaqdirkan seseorang selamat, maka meskipun segenap jin dan menusia mengerahkan upayanya untuk mencelakakan, ia tidak akan celaka. Sebaliknya bila Allah Subhanahu wa Ta’ala mentaqdirkan seseorang celaka, ia akan celaka, walaupun segenap upaya dikerahkan untuk menyelamatkannya. Karena itu tidak perlu takut terhadap jin, hantu, bahkan pada perampok, pembunuh atau dukun santet. Ingatlah selalu pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Abbas berikut ini:

وَ اعْلَمْ أَنَّ الأمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أنْ يَنْفَعُوْكَ بِشِيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ وَ إنِ اجْتَمَعُوْا علَى أنْ يَضُرُّوْكَ بِشِيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ. رُفِعَتِ الأقْلاَمُ وَ جَفَّتِ الصُحُفُ

Ketahuilah, seandainya ummat bersatu untuk memberimu manfaat, tidaklah mereka itu akan bisa memberimu manfaat kecuali sesuatu yang memang telah Allah tetapkan untukmu. Dan bila mereka bersatu untuk memberimu suatu kecelakaan, mereka tidak akan bisa mencelakaknmu dengan sesuatupun kecuali sesuatu yang memang telah Allah tetapkan kecelakaan untukmu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering”. [3]



* Ajarkan wirid dan do’a yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Doa dan wirid adalah senjata dan perisai bagi seorang mukmin. Karena jin, syetan serta para penjahat adalah makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka kita harus berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menghindarkan kita dari ganguan mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada ummat Beliau do’a dan wirid sehari-hari. Wirid pagi dan sore, do’a keluar masuk rumah, do’a mendengar lolongan anjing, do’a masuk WC, do’a singgah di suatu tempat dan lain-lain. Para orang tua dan pendidik seharusnya mengajarkan do’a-do’a tersebut dengan penuh kesungguhan.

* Sebisa mungkin jauhkanlah anak-anak dari cerita-cerita hantu, pembunuhan dan cerita misteri yang semisalnya. Gantilah semua itu dengan cerita-cerita kepahlawanan para mujahidin, keberanian Nabi dan para sahabat Beliau. Mereka semua tidak gentar melawan orang-orang kafir dengan segala tipu dayanya.

Ada satu kisah teladan yang sangat menarik. Pernah satu ketika seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengendap-endap di belakang seorang tukang sihir yang dengan bangganya memperagakan tipuan sulap sihirnya di hadapan para pejabat dan khalayak ramai. Setelah dekat, ia menghunus pedang dan memenggal kepala tukang sihir itu sambil mengucapkan,
حَدُّ السَّاحِرُ ضَرْبَةً بِالسَّيْفِ



“Hukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal dengan pedang”. Kemudian sahabat tersebut berujar kembali,”Bila ia memang benar, silahkan ia kembalikan lagi kepalanya ke badannya.” [4]

Serta masih banyak lagi kisah-kisah menarik utuk putra-putri kita.

* Bila orang tua penakut, jangan menampakkan sifat pnegevut ini di ahdapan anak-anak. Jangan pula menakut-nakuti anak dengan sesuatu yang kadang kala orang tua tidak sadar mengatakan sesuatu yang menampakkan sifat pengecutnya di hadapan anak-anak. Misalnya, orang tua menyuruh anak-anak masuk rumah menjelang maghrib, lalu menutup pintu sambil mengatakan,”Ayo masuk. Hiiiiiih……nanti kalau tidak mau masuk ada hantu”. Atau si ibu menjerit ketika listrik padam, sementara ibu sedang berada di kamar mandi. Para orang tua hendaklah belajar mengendalikan emosinya di hadapan anak-anak ketika menghadapi keadaan-keadaan yang mencekam. Memang tidak sedikit para orang tua yang punya sifat penakut. Mereka dibesarkan dalam lingkungan yang memaksa sifat “takut” yang tidak beralasan ini mengendap di dasar hatinya, di luar kemauan dan kehendaknya. Tetapi sebagai orang tua yang bertanggung jawab, tidak seharusnya sifat jelek itu kita turunkan kepada putra-putri kita. Karena itu hendaknya para orang tua lebih menanamkan pada hatinya tauhid dan keimanan, agar jiwa mereka menjadi tegar. Si buah hati pun diharapkan tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, bertauhid serta tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Wallahu waliyyut taufiq

(Ummu Khaulah)

Artikel www.salafiyunpad.wordpress.comdisalin dari kumpulan naskah Majalah As-Sunnah

Maraji:

- Al Qur’anul Karim. – I’anatul Mustafidh Syarhu Kitabit Tauhid, Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Jilid I, Cetakan II, Muassasah Ar Risalah.

[1] Hadits ini disepakati oleh Bukhari dan Muslim.

[2] Untuk lebih jelasnya silahkan menelaah penjelasan Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan dalam kitabnya yang berjudul I’anatul Mustafidh Syarh Kitabit Tauhid, Jilid I ketika menjalaskan khauf (takut) dan macam-macamnya.

[3] HR Tirmidzi dan ia berkata,”Hadits ini hasan shahih.” Syaikh Al Albani menghasankan hadits ini dalam Shahihul Jami’, 7834.

[4] Untuk lebih jelasnya, silakan menelaah penjelasan Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan dalam kitab I’anatul Mustafidh Syarhu Kitabi At Tauhid, Jilid I, ketika menjalaskan hadits “Haddus Sahiri” di atas.

Jumat, 30 September 2011

Zuhudlah Terhadap Dunia…

“Zuhudlah terhadap dunia, niscaya kamu dicintai Allah. Zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya kamu akan dicintai oleh mereka.” (HR. Ibnu Majah. Ibnu Hajar berkata dalam Bulughul Maram, isnadnya hasan)

Pengertian zuhud adalah berpalingnya keinginan terhadap sesuatu kepada sesuatu yang lebih baik darinya.

Zuhud terhadap dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan bukan pula dengan membuang harta. Tetapi zuhud terdahap dunia adalah engkau lebih yakin dan percaya kepada apa yang di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Juga engkau bersikap sama, baik ketika ditimpa musibah maupun tidak, serta dalam pandanganmu, orang lain adalah sama, baik yang memujimu atau yang mencelamu karena kebenaran.

Tingkatan Zuhud

Pertama,

Seseorang yang zuhud terdahap dunia, tetapi ia sebenarnya menginginkannya. Hatinya condong kepadanya, jiwanya berpaling kepadanya, namun ia berusaha untuk mencegahnya. Ini adalah mutazahhid (orang yang berusaha zuhud).

Kedua,

Seseorang meninggalkan dunia – dalam rangka taat kepada Allah Ta’ala – karena ia melihatnya sebagai sesuatu yang hina dina, jika dibandingkan dengan apa yang hendak digapainya. Orang ini sadar betul bahwa ia berzuhud, walaupun ia juga memperhitungkannya. Keadaan pada tingkatan ini seperti meninggalkan sekeping dirham untuk mendapatkan dua keping dirham.

Ketiga,

Seseorang yang zuhud terhadap dunia dalam rangka taat kepada Allah dan dia berzuhud dalam kezuhudannya. Artinya ia melihat dirinya tidak meninggalkan sesuatupun. Keadaannya seperti orang yang membuang sampah, lalu mengambil mutiara. Perumpamaan lain adalah seperti seseorang yang ingin memasuki istana raja, tetapi dihadang oleh seekor anjing di depan pintu gerbang. Lalu ia melemparkan sepotong roti untuk mengelabui anjing tadi. Dan ia pun masuk menemui sang raja.

Begitulah, setan adalah anjing yang menggonggong di depan pintu gerbang menuju Allah Ta’ala, menghalangi manusia untuk memasukinya. Padahal pintu itu terbuka, hijabpnya pun tersingkap. Dunia ini ibarat sepotong roti. Siapa yang melemparkannya agar berhasil menggapai kemuliaan Sang Raja, bagaimana mungkin masih memperhitungkannya?

Wallahu a’lam

Diringkas dari buku Tazkiyatun Nafs, Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnu Qayyim Al-Jauiyyah, Imam al-Ghazali, Putaka Arafah dengan perubahah seperlunya oleh redaksi muslimah.or.di

Jumat, 16 September 2011

Bersemangatlah Menuntut Ilmu Agama

Menuntut ilmu agama termasuk amal yang paling mulia, dan ia merupakan tanda dari kebaikan. Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Orang yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapatkan kebaikan, akan dimudahkan untuk memahami ilmu agama” (HR. Bukhari-Muslim). Hal ini dikarenakan dengan menuntut ilmu agama seseorang akan mendapatkan pengetahuan yang bermanfaat baginya untuk melakukan amal shalih.

Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya, “Dan Allahlah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan hudaa dan dinul haq” [At Taubah: 33]. Dan hudaa di sini adalah ilmu yang bermanfaat, dan maksud dinul haq di sini adalah amal shalih. Selain itu, Allah Ta’ala pernah memerintahkan Nabi-Nya Shalallahu’alaihi Wasallam untuk meminta tambahan ilmu, Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah (Wahai Muhammad), Ya Rabb, tambahkanlah ilmuku” [Thaha: 114]. Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Ayat ini adalah dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu. Karena Allah Ta’ala tidak pernah memerintahkan Nabinya Shalallahu’alaihi Wasallam untuk meminta tambahan terhadap sesuatu, kecuali ilmu” [Fathul Baari, 187/1]. Dan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam memberi nama majlis ilmu agama dengan ‘Riyadhul Jannah’ (Taman Surga). Beliau juga memberi julukan kepada para ulama sebagai ‘Warotsatul Anbiyaa’ (Pewaris Para Nabi).

Dari sisi keilmuan dan pengamalan terhadap ilmu, manusia terbagi menjadi 3 jenis:

Jenis yang pertama yaitu orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya. Mereka ini adalah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah untuk menempuh shiratal mustaqim, yaitu jalan yang lurus yang telah ditempuh oleh para nabi, orang-orang jujur, pada syuhada, dan orang-orang shalih. Dan merekalah teman yang terbaik.

Jenis yang kedua yaitu orang yang berilmu namun tidak mengamalkannya. Mereka ini adalah orang-orang yang dimurkai oleh Allah, semisal orang-orang Yahudi dan pengikut mereka.

Jenis yang ketiga yaitu orang yang beramal tanpa ilmu. Mereka ini adalah orang-orang yang sesat, semisal orang-orang Nashrani dan para pengikut mereka.

Ketiga jenis manusia ini tercakup dalam surat Al Fatihah yang senantiasa kita baca setiap rakat dalam shalat kita,yang artinya: ”Ya Rabb, tunjukkanlah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan yang telah ditempuh oleh orang-orang yang Engkau beri ni’mat, bukan jalannya orang yang Engkau murkai dan bukan jalannya orang-orang yang sesat” [Al Fatihah: 6 - 7].

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Firman Allah Ta’ala (yang artinya) ‘bukan jalannya orang yang Engkau murkai dan bukan jalannya orang-orang yang sesat’, yang dimaksud orang yang dimurkai di sini adalah para ulama yang tidak mengamalkan ilmu mereka. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang beramal tanpa ilmu. Apapun yang pertama, adalah sifat Yahudi. Dan yang kedua adalah sifat Nashrani. Namun kebanyakan orang jika melihat tafsir ayat ini mereka mengira bahwa sifat ini khusus bagi Yahudi dan Nashrani saja, padahal ia membaca bahwa Rabb-nya memerintahkan untuk membaca doa tersebut dan berlindung dari jalannya orang-orang yang bersifat demikian. Subhanallah! Bagaimana mungkin Allah mengabarkan sesuatu dan memilah sesuatu serta memerintahkan untuk selalu berdoa jika tidak ada maksud untuk memberi peringatan atau memberi gambaran keburukan mereka untuk dijauhi. Hal ini termasuk perbuatan berprasangka buruk terhadap Allah. (Karena mengira bahwa firman Allah tersebut tidak ada faedahnya -pent.)”. (Lihat Tarikh Najdi, Ibnu Ghonam)

Dan beliau juga menjelaskan tentang hikmah diwajibkannya membaca surat Al Fatihah dalam tiap rakaat shalat kita, baik shalat wajib maupun shalat sunnah, yaitu sebuah rahasia yang agung. Secara ringkas rahasia dari doa tersebut adalah harapan agar Allah Ta’ala memberikan kita petunjuk kepada jalannya orang-orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, yang merupakan jalan keselamatan di dunia dan di akhirat. Juga harapan agar Allah Ta’ala menjaga kita dari jalannya orang-orang yang binasa, yaitu orang-orang yang berlebihan dalam amal shalih saja atau berlebihan dalam ilmu saja.

Kemudian, ketahuilah wahai pembaca yang budiman, ilmu yang bermanfaat itu di ambil dari Al Qur’an dan hadits, dengan bantuan para pengajar, juga dengan bantuan kitab-kitab tafsir Al Qur’an dan kitab syarah (penjelasan) hadits, kitab fiqih, kitab nahwu, dan kitab bahasa arab yang merupakan bahasa Al Qur’an. Semua kitab ini adalah gerbang untuk memahami Al Qur’an dan Sunnah.

Wahai saudaraku, agar amalmu termasuk amal shalih, wajib bagimu untuk mempelajari hal-hal pokok yang menegakkan agamamu. Seperti mempelajari tentang shalat, puasa, haji, zakat, juga mempelajari perkara muamalah yang engkau butuhkan. Agar engkau dapat mengambil yang boleh saja dan tidak terjerumus pada hal yang diharamkan oleh Allah Ta’ala. Agar penghasilanmu halal, makananmu halal sehingga doamu dapat dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Semua ini adalah hal-hal yang mempelajarinya adalah kebutuhan bagimu. Semua ini akan mudah dijalani, dengan izin Allah, bila benar tekadmu dan bersih niatmu.

Maka bersemangatlah membaca kitab-kitab yang bermanfaat, dan berkonsultasilah dengan para ulama. Tanyakanlah kepada mereka tentang hal-hal yang membuatmu bingung, dan temukan jawaban tentang hukum-hukum agamamu. Hal ini bisa dilakukan dengan menghadiri pengajian-pengajian yang diadakan di masjid atau di tempat lain, atau mendengarkan program-program Islami dari siaran radio, atau membaca majalah atau buletin yang membahas permasalahan agama, jika engkau bersemangat terhadap semua media-media yang bermanfaat ini, tentu bersinarlah cahaya ilmu bagimu dan teranglah penglihatanmu.

Dan jangan lupa saudaraku, ilmu itu akan disucikan dengan amal. Jika engkau mengamalkan apa yang telah engkau ilmui, maka Allah Ta’ala akan menambahkan ilmu bagimu. Sebagaimana peribahasa orang arab “Orang yang mengamalkan apa yang telah ia ilmui, maka Allah akan mewarisinya ilmu yang belum ia ilmui”. Peribahasa ini dibenarkan oleh firman Allah Ta’ala yang artinya: “Bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan membuatmu berilmu. Sungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” [Al Baqarah: 272]

Ilmu adalah kesibukan yang paling layak untuk mengisi waktu, ia juga merupakan hadiah yang paling layak untuk diperlombakan bagi orang-orang yang berakal. Ilmu akan menghidupkan hati dan mensucikan amal.

Allah Ta’ala telah memuji para ulama yang mengamalkan ilmunya, dan mengangkat derajat mereka dalam Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu? Sesungguhnya hanya orang yang berakal saja yang dapat menerima pelajaran” [Az Zumar: 9]. Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya, “Allah telah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu dari kalian beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” [Al Mujaadalah: 11]. Allah Ta’ala telah menjelaskan keistimewaan orang-orang berilmu yang digandengkan dengan iman. Kemudian setelah itu Allah mengabarkan Ia Maha Mengetahui atas apa yang kita kerjakan. Maka di sini terdapat tanda yang menunjukkan bahwa ilmu harus digandengkan dengan amal, dan juga harus bersandar pada iman dan muqorobah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

[Diterjemahkan dari muqoddimah kitab “Al Mulakhos Al Fiqhiy”, Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan]



Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel www.muslim.or.id

Ketika Layar Telah Berkembang

Islam telah membimbing kita dalam membangun rumah tangga, dimulai dari memilih pasangan hidup. Islam mengikat suami istri dalam ikatan kokoh, menentukan hak dan kewajiban, serta mewajibkan mereka menjaga buah pernikahan ini. Islam juga mengantisipasi segala problema yang dapat menghadang kehidupan rumah tangga secara tepat. Itulah kesempurnaan islam yang sangat indah.

Pernikahan! Kata itu sangat indah didengar tetapi keindahan di dalamnya harus serta-merta dibarengi dengan persiapan. Pernikahan berarti mempertemukan kepentingan-kepentingan dua individu dan bukan mempertentangkannya.

Ketika biduk rumah tangga telah berlayar, apa saja yang bisa Anda lakukan di dalamnya? Hari berlalu, pekan berlalu, bergantilah bulan. Tiba-tiba suatu hari Anda merasakan ada sesuatu yang tidak mengenakkan Anda. Anda mengamati sifat dan pasangan Anda selama beberapa pekan sejak pernikahan, ternyata ada yang tidak Anda sukai dan yang tidak Anda harapkan. Sejak saat itu, Anda menemukan bahwa rumah tangga tidak hanya berisi kegembiraan, namun juga tantangan, bahkan bisa juga ancaman. Seorang suami mungkin bertanya-tanya siapakah gerangan engkau wahai istriku? Demikian ia sering bertanya dalam hatinya. Sekian banyak hal-hal aneh dan asing yang ia temukan pada diri seorang ‘makhluk halus’ bernama istrinya itu. Demikian pula, pertanyaan itu muncul di benak sang istri. Seperti ia sedang dihadapkan pada sebuah laboratorium bernyawa, tengah ada banyak penelitian dan pelajaran yang bisa dieksplorasi di dalamnya. Ia menghadapi hari-hari yang berharga, pengenalan demi pengenalan, pengalaman demi pengalaman dan berbagai pertanyaan yang belum terjawabkan. Dulu waktu masih lajang, seorang muslimah yang belum pernah bersentuhan kulit dengan lawan jenis, kini tiba-tiba dihadapkan pada seorang asing yang nantinya akan mengetahui banyak ‘rahasia’ dirinya. Ia seorang wanita yang ‘clingus’ menurut orang jawa, wanita yang tak berani ngobrol dan bercanda dengan lawan jenisnya, namun tatkala masuk ke jenjang pernikahan ia harus berhadapan dengan ‘dunia’ laki-laki. Kini, ia mencoba menyesuaikan irama kehidupan dirinya dengan sang suami. Ia mulai mengenal dunia laki-laki secara dekat tanpa jarak. Demikian pula hal-nya dengan sang suami.

Sebenarnyalah kesulitan yang dihadapi merupakan sesuatu yang wajar dan manusiawi. Betapa tidak! Pernikahan telah mempertemukan bukan saja dua individu yang berbeda, laki-laki dan perempuan, tetapi dua kepribadian, dua selera, dua latar budaya, dua karakter, dua hati, dua otak dan ruh yang hampir dapat dipastikan banyak ketidaksamaan yang akan ditemui oleh keduanya. Seorang manusia yang terkadang bisa saja tak paham akan suasana hatinya, sekarang malah dituntut untuk memahami hati orang lain?!

Kehidupan rumah tangga tak semuanya bisa dirasionalkan begitu saja, terkadang memerlukan proses kontemplasi yang rumit, memahami dunia baru, memahami suasana jiwa, logika, psikologis dan fisiologis yang bergulir bersama di dalam kehidupan rumah tangga. Kuliah S1 ternyata tak cukup membekali teori tentang ’siapakah laki-laki dan perempuan’ dalam tataran teoritis maupun praktis. Tentunya kita kurang mampu memahami dunia pasangan kita, kecuali menempuh pembelajaran dan saling membantu untuk terbuka kepada pasangannya tentang apa yang dirasakan, kepedihan duka, kegembiraan, kecemburuan, kekecewaan, kebanggaan, keinginan, dan jutaan determinasi perasaan lainnya. Saling mencintai memerlukan proses pembelajaran. Saling membantu mengajarkan tentang diri sendiri, bahwa aku adalah makhluk Allah yang punya keinginan dan mestinya engkau mengerti keinginanku. Akan tetapi bahasan verbal tak senantiasa berhasil mengungkap hakikat perasaan.

Menikah adalah pilihan sadar setiap laki-laki dan perempuan dalam islam. Seorang laki-laki berhak menentukan pasangan hidup sebagaimana perempuan. Jika kemudian sepasang laki-laki dan perempuan memutuskan untuk saling menerima dan sepakat melangsungkan pernikahan, atas alasan apakah satu pihak merasa terpaksa berada di samping pasangan hidupnya setelah resmi berumah tangga??!! Sebelum terjadinya akad nikah, pilihan masih terbuka lebar, akan tetapi setelah adanya akad nikah, adalah sebuah pengkhianatan terhadap makna akad itu sendiri apabila satu pihak senantiasa mencari-cari keburukan dan kesalahan pasangannya dengan merasa benar dan bersih sendiri. Tentunya hal tersebut merupakan salah satu bentuk penyucian diri, terlebih lagi tindakannya tersebut akan menumbuhkan benih-benih kebencian dalam hati terhadap seseorang yang telah menjadi pilihannya. Allah ta’ala berfirman:

فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

“Janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An Najm: 32).

لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, karena walaupun dirinya membenci salah satu perangainya, tentulah akan ada perangai lain yang disukainya.” (HR. Muslim nomor 2672)

Imam An Nawawi mengatakan, “Yang benar, hadits ini merupakan larangan bagi seorang suami agar tidak membenci istrinya, karena apabila istrinya memiliki perangai yang tidak disenanginya, tentulah akan ada perangai lain yang disukainya, misalnya istrinya memiliki akhlak yang jelek, akan tetapi mungkin saja dia komitmen terhadap agama, memiliki paras yang cantik, mampu menjaga diri, lembut atau yang semisalnya.” (Syarh Shahih Muslim, 5/209).

Memang ada pilihan lain yang dicontohkan shahabiyah Habibah binti Sahl ketika menemukan kebuntuan dalam rumah tangga sehingga dirinya mengajukan khulu’. Nabi pun memberikan jalan keluar.(HR. Malik nomor 1032; Abu Dawud nomor 1900, 1901; An Nasaa’i nomor 3408; Ibnu Majah nomor 2047; Ahmad nomor 26173; dishahihkan oleh Al ‘Allamah Al Albani dalam Al Irwa’, 7/102-103, Shahih Sunan Abu Dawud nomor 1929).

Namun, cerai bukanlah jalan pertama yang harus ditempuh, sebab proses belajar menerima dan mencintai harus terjadi dan ditempuh terlebih dahulu. Karena tujuan kita menikah adalah ibadah, mengabdi pada Allah dan mencapai keridhoan-Nya. Sedangkan hasil akhir dari ibadah itu sendiri adalah mencapai tingkat ketakwaan atau pemeliharaan diri dari segala kemaksiatan, yang akan membawa pemiliknya merengkuh ridho Allah. Berbagai upaya akan ditempuh oleh orang yang ingin mencapai derajat ketakwaan, tidak terkecuali melalui pernikahan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَن

“Bertakwalah kamu di manapun kamu berada, bila kamu berbuat kejahatan, segera iringi dengan perbuatan baik, sehingga dosamu terhapus, lalu pergaulilah manusia dengan akhlaq yang baik.” (HR. Tirmidzi nomor 1910; dihasankan Syaikh Al Albani dalam Al Misykah nomor 5083, Ar Raudlun Nadhir nomor 855, Shahih wadl Dhaif Sunan At Tirmidzi, 4/487)

Setiap pasangan hendaknya merenungkan bahwasanya ketika mereka menikah, mereka tinggal menyempurnakan “setengah ketakwaan”, apakah “setengah ketakwaan” yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka hendak disia-siakan?

Mari kita belajar membentuk bahtera rumah tangga yang mampu berlayar merengkuh keridhoaan-Nya. Bertakwalah kepada Allah dalam setiap mengambil keputusan dan bersabarlah menghadapi kekurangan dan kelemahan pasangan kita, karena tak ada manusia yang sempurna, teruslah bermuhasabah diri. Mudah-mudahan dengan kesabaran kita, Allah akan memudahkan dan memberikan kebahagiaan dalam rumah tangga kita. Teruslah berusaha melaksanakan semua kewajiban yang Allah bebankan pada kita dengan segala kemampuan dan kekuatan yang ada, Allah-lah sumber kekuatan kita, dengan mengharap ridha-Nya dan cinta-Nya. Berjanjilah, mulai hari ini, bahwa keindahan hidup rumah tangga pada mulanya berasal dari kesadaran anda akan janji besar ini! Dengan demikian, semoga kita mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Semoga Allah mengumpulkan kita dengan pasangan beserta anak-anak kita dalam jannah-Nya. Amiin.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id

Pertanyaan Cerdas Sang Arab Badui

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahihnya :
Amr bin Muhammad bin Bukair an-Naqid menuturkan kepadaku. Dia berkata; Hasyim bin al-Qasim Abu an-Nadhr menuturkan kepadaku. Dia berkata; Sulaiman bin al-Mughirah menuturkan kepadaku dari Tsabit dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, dia mengatakan; Dahulu kami pernah dilarang untuk bertanya tentang apa saja kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh sebab itu kami merasa senang apabila ada orang Arab Badui yang cukup berakal datang kemudian bertanya kepada beliau lantas kami pun mendengarkan jawabannya.

Maka suatu ketika, datanglah seorang lelaki dari penduduk kampung pedalaman. Dia mengatakan, “Wahai Muhammad, telah datang kepada kami utusanmu. Dia mengatakan bahwasanya anda telah mengaku bahwa Allah telah mengutus anda?”. Maka Nabi menjawab, “Dia benar.” Lalu arab badui itu bertanya, “Lalu siapakah yang menciptakan langit?”. Beliau menjawab, “Allah.” Lalu dia bertanya, “Siapakah yang menciptakan bumi?”. Nabi menjawab, “Allah.” Dia bertanya lagi, “Siapakah yang memancangkan gunung-gunung ini dan menciptakan di atasnya segala bentuk ciptaan?”. Nabi menjawab, “Allah.” Lalu arab badui itu mengatakan, “Demi Dzat yang telah menciptakan langit dan yang menciptakan bumi serta memancangkan gunung-gunung ini, benarkah Allah telah mengutusmu?”. Maka beliau menjawab, “Iya.”

Lalu dia kembali bertanya, “Utusanmu pun mengatakan kepada kami bahwa kami wajib untuk melakukan shalat lima waktu selama sehari semalam yang kami lalui.” Nabi mengatakan, “Dia benar.” Lalu dia mengatakan, “Demi Dzat yang telah mengutusmu, benarkah Allah telah memerintahkanmu dengan perintah ini?”. Nabi menjawab, “Iya.” Lalu dia mengatakan, “Dan utusanmu juga mengatakan bahwa kami berkewajiban untuk membayarkan zakat dari harta-harta kami?”. Nabi mengatakan, “Dia benar.” Dia berkata, “Demi Dzat yang telah mengutusmu, benarkah Allah yang telah menyuruhmu untuk ini?”. Beliau menjawab, “Iya.” Dia mengatakan, “Dan utusanmu juga mengatakan bahwa kami wajib berpuasa di bulan Ramadhan di setiap tahunnya.” Nabi mengatakan, “Dia benar.” Dia mengatakan, “Demi Dzat yang telah mengutusmu, benarkah Allah telah menyuruhmu dengan perintah ini?”. Beliau menjawab, “Iya.” Dia mengatakan, “Utusanmu pun mengatakan bahwa kami wajib untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah bagi orang yang mampu melakukaan perjalanan ke sana.” Nabi menjawab, “Dia benar.” Dia mengatakan, “Demi Dzat yang telah mengutusmu, benarkah Allah yang memerintahkanmu dengan ini?”. Nabi menjawab, “Iya.”

Anas mengatakan; Kemudian dia pun berbalik seraya mengatakan, “Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan menambahkan selain itu dan aku juga tidak akan menguranginya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalau dia benar-benar jujur/konsisten niscaya dia akan masuk surga.” (Diriwayatkan juga oleh Bukhari dalam Kitab al-’Ilm, bab maa jaa’a fi qaulihi ta’ala, ‘Wa qul Rabbi zidni ‘ilman’, hadits no 63, lihat Shahih Muslim cet ke-4 Darul Kutub Ilmiyah 1427 H, hal. 29)

Di antara faedah hadits ini, adalah :

1. Penetapan kebenaran risalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
2. Syariat itu berlaku apabila telah sampai ilmu kepada orang yang bersangkutan
3. Adanya udzur/toleransi bagi orang yang belum sampai ilmu kepadanya
4. Di dalam hadits ini juga terkandung pelajaran mengenai rihlah fi thalabil ilmi/menempuh perjalanan dalam rangka menimba ilmu agama
5. Di dalamnya juga terkandung ajaran untuk kembali kepada para ulama dan sering-sering bergaul dengan mereka
6. Kebanyakan orang arab badui itu tidak mengerti dan kurang sopan
7. Orang arab badui saja mengerti bahwa alam semesta ini ada penciptanya, maka ini merupakan bantahan telak bagi para penganut paham anti tuhan atau athheis
8. Di dalamnya juga terdapat bantahan bagi kaum yang meyakini paham wahdatul wujud
9. Dzat yang menciptakan alam semesta itulah yang berhak untuk diibadahi
10. Semestinya seorang murid menyusun pertanyaan dengan baik
11. Tanya-jawab merupakan salah satu metode transfer ilmu yang paling bermanfaat
12. Pembelajaran secara bertahap
13. Ilmu sebelum berkata dan berbuat
14. Bersumpah harus dengan menyebut nama Allah bukan dengan nama makhluk, dan hal itu pun dipahami oleh orang Arab Badui sekalipun
15. Bolehnya bersumpah tanpa diminta
16. Bolehnya mencari sanad yang lebih tinggi
17. Di dalamnya juga terkandung ajaran untuk mengecek kebenaran suatu berita
18. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di samping mmerintah, beliau juga diperintah
19. Disyariatkannya mengutus utusan dakwah ke berbagai tempat
20. Berdakwah harus dengan ilmu
21. Tidak bolehnya taklid buta
22. Wajibnya ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
23. Keharusan untuk taslim/pasrah kepada syari’at beliau
24. Diterimanya hadits ahad dalam masalah aqidah maupun hukum dan beramal dengannya
25. Shalat lima waktu itu dikerjakan secara berulang-ulang di setiap sehari semalam
26. Hadits ini menunjukkan bahwa shalat witir tidaklah wajib
27. Tidak adanya kewajiban pungutan pajak bagi setiap muslim
28. Puasa Ramadhan wajib dikerjakan dis etiap tahunnya
29. Hadits ini juga menunjukkan bahwa kaum muslimin awam dari kalangan para muqallid adalah termasuk kaum mukminin, yaitu apabila mereka telah meyakini aqidah Islam ini dengan mantap dan tidak ragu-ragu
30. Dengan menunaikan kewajiban syari’at maka seorang bisa masuk ke dalam surga
31. Amal merupakan sebab masuk ke dalam surga, namun dia bukanlah harga tukar yang seimbang untuk surga
32. Iman itu meliputi keyakinan, ucapan, dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang. Ini merupakan bantahan bagi Murji’ah, Jahmiyah, Khawarij dan Mu’tazilah
33. Ibadah itu ada yang wajib dan ada yang sunnah
34. Ibadah yang diwajibkan Allah itu beraneka ragam, tidak hanya satu macam
35. Ibadah yang wajib ada yang bersifat harian, dan ada juga yang tahunan, bahkan ada yang sekali seumur hidup
36. Hukum di dunia ditegakkan berlandaskan apa yang tampak/menurut zahirnya
37. Masuk surga atau tidaknya seseorang ditentukan oleh Allah ta’ala yang hanya Allah yang paling mengetahuinya
38. Surga itu benar adanya
39. Hendaknya menyesuaikan antara ucapan dengan amal perbuatan
40. Di dalamnya terdapat peringatan dari bahaya kemunafikan
41. Yang akan masuk surga hanyalah orang muslim saja, orang kafir tidak berhak
42. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan ahli hadits
43. Hadits ini menunjukkan keutamaan orang yang langsung belajar Islam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
44. Hadits merupakan sumber ajaran Islam selain Kitabullah
45. Hadits merupakan penafsir bagi al-Qur’an
46. Hadits ini juga menunjukkan pentingnya aqidah
47. Aqidah merupakan landasan penegakan hukum, untuk individu maupun masyarakat
48. Dan faedah lain yang belum saya ketahui, wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa shahbihi wa sallam, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

Tak Lebih Berharga dari Sehelai Sayap Nyamuk!

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ ، وَجَنَّةُ الكَافِرِ

“Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir” (HR. Muslim)

Dari Amr bin ‘Auf radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَوالله مَا الفَقْرَ أخْشَى عَلَيْكُمْ ، وَلكِنِّي أخْشَى أنْ تُبْسَط الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا ، فَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أهْلَكَتْهُمْ

“Demi Allah. Bukanlah kemiskinan yang aku khawatirkan menimpa kalian. Akan tetapi aku khawatir ketika dibukakan kepada kalian dunia sebagaimana telah dibukakan bagi orang-orang sebelum kalian. Kemudian kalian pun berlomba-lomba dalam mendapatkannya sebagaimana orang-orang yang terdahulu itu. Sehingga hal itu membuat kalian menjadi binasa sebagaimana mereka dibinasakan olehnya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Ka’ab bin ‘Iyadh radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً ، وفِتْنَةُ أُمَّتِي : المَالُ

“Sesungguhnya setiap umat memiliki fitnah, sedangkan fitnah ummatku adalah harta” (HR. Tirmidzi, dia berkata: ‘hadits hasan sahih’)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ ؛ فَهُوَ أجْدَرُ أنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ الله عَلَيْكُمْ

“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kalian -dalam hal dunia- dan janganlah kalian melihat orang yang lebih di atasnya. Karena sesungguhnya hal itu akan membuat kalian tidak meremehkan nikmat yang Allah berikan kepada kalian” (HR. Muslim)

Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَجَباً لأمْرِ المُؤمنِ إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خيرٌ ولَيسَ ذلِكَ لأَحَدٍ إلاَّ للمُؤْمِن : إنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكانَ خَيراً لَهُ ، وإنْ أصَابَتْهُ ضرَاءُ صَبَرَ فَكانَ خَيْراً لَهُ

“Sangat mengagumkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik baginya. Dan hal itu tidak didapatkan kecuali pada diri orang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan maka dia bersyukur. Dan apabila dia mendapatkan kesusahan maka dia akan bersabar” (HR. Muslim)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اللَّهُمَّ لاَ عَيْشَ إِلاَّ عَيْشَ الآخِرَةِ

“Ya Allah tidak ada kehidupan yang sejati selain kehidupan akhirat” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإنَّ الله تَعَالَى مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ

“Sesungguhnya dunia ini manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah ta’ala menyerahkannya kepada kalian untuk diurusi kemudian Allah ingin melihat bagaimana sikap kalian terhadapnya. Maka berhati-hatilah dari fitnah dunia dan wanita” (HR. Muslim)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُنْ في الدُّنْيَا كَأنَّكَ غَرِيبٌ ، أَو عَابِرُ سَبيلٍ

“Jadilah kamu di dunia seperti halnya orang asing atau orang yang sekedar numpang lewat/musafir” (HR. Bukhari)

Dari Sahl bin Sa’id as-Sa’idi radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ كَانَت الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ الله جَنَاحَ بَعُوضَةٍ ، مَا سَقَى كَافِراً مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Seandainya dunia ini di sisi Allah senilai harganya dengan sayap nyamuk niscaya Allah tidak akan memberi minum barang seteguk sekalipun kepada orang kafir” (HR. Tirmidzi, dan dia berkata: ‘hadits hasan sahih’)

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا لِي وَلِلدُّنْيَا ؟ مَا أَنَا في الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Ada apa antara aku dengan dunia ini? Tidaklah aku berada di dunia ini kecuali bagaikan seorang pengendara/penempuh perjalanan yang berteduh di bawah sebuah pohon. Kemudian dia beristirahat sejenak di sana lalu meninggalkannya” (HR. Tirmidzi, dia berkata: ‘hadits hasan sahih’)



Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi S.Si.
Artikel Muslim.Or.Id

Sudah Lama “Ngaji” Tetapi Akhlak Tidak Baik

“Akh, ana lebih senang bergaul dengan ikhwan yang akhlaknya baik walaupun sedikit ilmunya”. [SMS seorang ikhwan]

“Kok dia suka bermuka dua dan dengki sama orang lain, padahal ilmunya masyaAlloh, saya juga awal-awal “ngaji” banyak tanya-tanya agama sama dia”. [Pengakuan seorang akhwat]

“Ana suka bergaul dengan akh Fulan, memang dia belum lancar-lancar amat baca kitab tapi akhlaknya sangat baik, murah senyum, sabar, mendahulukan orang lain, tidak egois, suka menolong dan ana lihat dia sangat takut kepada Alloh, baru melihatnya saja, ana langsung teringat akherat”. [Pengakuan seorang ikhwan]

Mungkin fenomena ini kadang terjadi atau bahkan sering kita jumpai di kalangan penuntut yang sudah lama “ngaji”1 . Ada yang telah ngaji 3 tahun atau 5 tahun bahkan belasan tahun tetapi akhlaknya tidak berubah menjadi lebih baik bahkan semakin rusak. Sebagian dari kita sibuk menuntut ilmu tetapi tidak berusaha menerapkan ilmunya terutama akhlaknya. Sebaliknya mungkin kita jarang melihat orang seperti dikomentar ketiga yang merupakan cerminan keikhlasannya dalam beragama meskipun nampaknya ia kurang berilmu dan. semoga tulisan ini menjadi nasehat untuk kami pribadi dan yang lainnya.

Akhlak adalah salah satu tolak ukur iman dan tauhid

Hal ini yang perlu kita camkan sebagai penuntut ilmu agama, karena akhlak adalah cerminan langsung apa yang ada di hati, cerminan keikhlasan dan penerapan ilmu yang diperoleh. Lihat bagimana A’isyah rodhiallohu ‘anha mengambarkan langsung akhlak Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan teladan dalam iman dan tauhid, A’isyah rodhiallohu ‘anha berkata,

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

“Akhlak beliau adalah Al-Quran” [HR. Muslim no. 746, Abu Dawud no. 1342 dan Ahmad 6/54]

Yang berkata demikian Adalah A’isyah rodhiallohu ‘anha, Istri yang paling sering bergaul dengan beliau, dan perlu kita ketahui bahwa salah satu barometer ahklak seseorang adalah bagaimana akhlaknya dengan istri dan keluarganya. Rasulolluh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku.” [H.R. Tirmidzi dan beliau mengomentari bahwa hadits ini hasan gharib sahih. Ibnu Hibban dan Al-Albani menilai hadits tersebut sahih].

Akhlak dirumah dan keluarga menjadi barometer karena seseorang bergaul lebih banyak dirumahnya, bisa jadi orang lain melihat bagus akhlaknya karena hanya bergaul sebentar. Khusus bagi suami yang punya “kekuasaan” atas istri dalam rumah tangga, terkadang ia bisa berbuat semena-mena dengan istri dan keluarganya karena punya kemampuan untuk melampiaskan akhlak jeleknya dan hal ini jarang diketahui oleh orang banyak. Sebaliknya jika di luar rumah mungkin ia tidak punya tidak punya kemampuan melampiaskan akhlak jeleknya baik karena statusnya yang rendah (misalnya ia hanya jadi karyawan rendahan) atau takut dikomentari oleh orang lain.

Dan tolak ukur yang lain adalah takwa sehingga Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkannya dengan akhlak, beliau bersabda,

اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Iringilah kejelekan dengan kebaikan niscaya ia akan menghapuskan kejelekan tersebut dan berakhlaklah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi no. 1987 dan Ahmad 5/153. Abu ‘Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rohimahullohu menjelaskan hadist ini,

“Barangsiapa bertakwa kepada Alloh, merealisasikan ketakwaannya dan berakhlak kepada manusia -sesuai dengan perbedaan tingkatan mereka- dengan akhlak yang baik, maka ia medapatkan kebaikan seluruhnya, karena ia menunaikan hak hak Alloh dan Hamba-Nya. [Bahjatu Qulubil Abror hal 62, cetakan pertama, Darul Kutubil ‘ilmiyah]

Demikian pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ اَلْجَنَّةَ تَقْوى اَللَّهِ وَحُسْنُ اَلْخُلُقِ

”Yang paling banyak memasukkan ke surga adalah takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia” (HR At-Tirmidzi, Ibnu Maajah dan Al-Haakim dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)

Tingginya ilmu bukan tolak ukur iman dan tauhid

Karena ilmu terkadang tidak kita amalkan, yang benar ilmu hanyalah sebagai wasilah/perantara untuk beramal dan bukan tujuan utama kita. Oleh karena itu Alloh Azza wa Jalla berfirman,

جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan.” [Al-Waqi’ah: 24]

Alloh TIDAK berfirman,

جَزَاء بِمَا كَانُوا يعَلمُونَ

“Sebagai balasan apa yang telah mereka ketahui.”

Dan cukuplah peringatan langsung dalam Al-Qur’an bagi mereka yang berilmu tanpa mengamalkan,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَْ كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

”Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan hal yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian Allah bahwa kamu mengatakan apa saja yang tidak kamu kerjakan.” (QS.Ash-Shaff : 3)

Dan bisa jadi Ilmunya tinggi karena di karuniai kepintaran dan kedudukan oleh Alloh sehingga mudah memahami, menghapal dan menyerap ilmu.

Ilmu Agama hanya sebagai wawasan ?

Inilah kesalahan yang perlu kita perbaiki bersama, sebagian kita giat menuntut ilmu karena menjadikan sebagai wawasan saja, agar mendapat kedudukan sebagai seorang yang tinggi ilmunya, dihormati banyak orang dan diakui keilmuannya. Kita perlu menanamkan dengan kuat bahwa niat menambah ilmu agar menambah akhlak dan amal kita.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah juga tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya.” [Al-Fawa’id hal 171, Maktabah Ast-Tsaqofiy]

Sibuk belajar ilmu fiqh dan Ushul, melupakan ilmu akhlak dan pensucian jiwa

Yang perlu kita perbaiki bersama juga, sebagian kita sibuk mempelajari ilmu fiqh, ushul tafsir, ushul fiqh, ilmu mustholah hadist dalam rangka memperoleh kedudukan yang tinggi, mencapai gelar “ustadz”, menjadi rujukan dalam berbagai pertanyaan. Akan tetapi terkadang kita lupa mempelajari ilmu akhlak dan pensucian jiwa, berusaha memperbaiki jiwa dan hati kita, berusaha mengetahui celah-celah setan merusak akhlak kita serta mengingat bahwa salah satu tujuan Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus adalah untuk menyempurnakan Akhlak manusia.

Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلاَقِ”

“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” [H.R. Al-Hakim dan dinilai sahih oleh beliau, adz-Dzahabi dan al-Albani].

Ahlak yang mulia juga termasuk dalam masalah aqidah

Karena itu kita jangan melupakan pelajaran akhlak mulia, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memasukkan penerapan akhlak yang mulia dalam permasalahan aqidah. Beliau berkata,

“Dan mereka (al-firqoh an-najiah ahlus sunnah wal jama’ah) menyeru kepada (penerapan) akhlak yang mulia dan amal-amal yang baik. Mereka meyakini kandungan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yang paling sempuna imannya dari kaum mukminin adalah yang paling baik akhlaknya diantara mereka“. Dan mereka mengajakmu untuk menyambung silaturahmi dengan orang yang memutuskan silaturahmi denganmu, dan agar engkau memberi kepada orang yang tidak memberi kepadamu, engkau memaafkan orang yang berbuat zhalim kepadamu, dan ahlus sunnah wal jama’ah memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturahmi, bertetangga dengan baik, berbuat baik kepada anak-anak yatim, fakir miskin, dan para musafir, serta bersikap lembut kepada para budak. Mereka (Ahlus sunnah wal jama’ah) melarang sikap sombong dan keangkuhan, serta merlarang perbuatan dzolim dan permusuhan terhadap orang lain baik dengan sebab ataupun tanpa sebab yang benar. Mereka memerintahkan untuk berakhlak yang tinggi (mulia) dan melarang dari akhlaq yang rendah dan buruk”. [lihat Matan 'Aqiidah al-Waashithiyyah]

Bagi yang sudah “ngaji” Syaitan lebih mengincar akhlak bukan aqidah

Bagi yang sudah “ngaji”, yang notabenenya insyaAlloh sudah mempelajari ilmu tauhid dan aqidah, mengetahui sunnah, mengetahui berbagai macam maksiat, tidak mungkin syaitan mengoda dengan cara mengajaknya untuk berbuat syirik, melakukan bid’ah, melakukan maksiat akan tetapi syaitan berusaha merusak Akhlaknya. Syaitan berusaha menanamkan rasa dengki sesama, hasad, sombong, angkuh dan berbagai akhlak jelak lainnya.

Syaitan menempuh segala cara untuk menyesatkan manusia, tokoh utama syaitan yaitu Iblis berikrar untuk hal tersebut setelah Alloh azza wa jalla menghukumnya dan mengeluarkannya dari surga, maka iblis menjawab:

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَْ ثُمَّ لآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ وَلاَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“Karena Engkau telah menghukumku tersesat, aku benar-benar akan(menghalang-halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian aku akan datangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (Al-A’raf: 16-17)

Kita butuh teladan akhlak dan takwa

Disaat ini kita tidak hanya butuh terhadap teladan ilmu tetapi kita lebih butuh teladan ahklak dan takwa, sehingga kita bisa melihat dengan nyata dan mencontoh langsung akhlak dan takwa orang tersebut terutama para ustadz dan syaikh.

Yang perlu kita camkan juga, jika menuntut ilmu dari seseorang yang pertama kali kita ambil adalah akhlak dan adab orang tersebut baru kita mengambil ilmunya. Ibu Imam Malik rahimahullahu, sangat paham hal ini dalam mendidik anaknya, beliau memerhatikan keadaan putranya saat hendak pergi belajar. Imam Malik rahimahullahu mengisahkan:

“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ ‘Kemarilah!’ kata ibuku, ‘Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah (guru Imam Malik, pen)! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’. (Waratsatul Anbiya’, dikutip dari majalah Asy Syariah No. 45/IV/1429 H/2008, halaman 76 s.d. 78)

Kemudian pada komentar ketiga,

“Baru melihatnya saja, ana langsung teringat akherat”

Hal inilah yang kita harapkan, banyak teladan langsung seperti ini. Para ulama pun demikian sebagaimana Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata,

“Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami mendatangi beliau, maka dengan hanya memandang beliau dan mendengarkan ucapan beliau, maka hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.” [Al Waabilush Shayyib hal 48, cetakan ketiga, Darul Hadist, Maktabah Syamilah]

Sudah lama “ngaji” tetapi kok susah sekali memperbaiki Akhlak?

Memang memperbaiki Akhlak adalah hal yang tidak mudah dan butuh “mujahadah” perjuangan yang kuat. Selevel para ulama saja membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memperbaiki akhlak.

Berkata Abdullah bin Mubarak rahimahullahu :

طلبت الأدب ثلاثين سنة وطلبت العلم عشرين سنة كانوا يطلبون الأدب ثم العلم

“Saya mempelajari adab selama 30 tahun dan saya mempelajari ilmu (agama) selama 20 tahun, dan ada-lah mereka (para ulama salaf) memulai pelajaran mereka dengan mempelajari adab terlebih dahulu kemudian baru ilmu”. [Ghayatun-Nihayah fi Thobaqotil Qurro I/446, cetakan pertama, Maktabah Ibnu Taimiyyah, Maktabah Syamilah]

Dan kita tetap terus menuntut ilmu untuk memperbaiki akhlak kita karena ilmu agama yang shohih tidak akan masuk dan menetap dalam seseorang yang mempunyai jiwa yang buruk.

Imam Al Ghazali rahimahullahu berkata,

“Kami dahulu menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” [Thabaqat Asy Syafi’iyah, dinukil dari tulisan ustadz Kholid syamhudi, Lc, majalah Assunah].

Jadi hanya ada kemungkinan ilmu agama tidak akan menetap pada kita ataupun ilmu agama itu akan memperbaiki kita. Jika kita terus menerus menuntut ilmu agama maka insyaAlloh ilmu tersebut akan memperbaiki akhlak kita dan pribadi kita.

Mari kita perbaiki akhlak untuk dakwah

“orang salafi itu ilmunya bagus, ilmiah dan masuk akal tapi keras dan mau menang sendiri” [pengakuan seseorang kepada penyusun]

Karena akhlak buruk, beberapa orang menilai dakwah ahlus sunnah adalah dakwah yang keras, kaku, mau menang sendiri, sehingga beberapa orang lari dari dakwah dan menjauh. Sehingga dakwah yang gagal karena rusaknya ahklak pelaku dakwah itu sendiri. Padahal rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا

“Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari” [HR. Bukhari, Kitabul ‘Ilmi no.69]

Karena Akhlak yang buruk pula ahlus sunnah berpecah belah, saling tahzir, saling menjauhi yang setelah dilihat-lihat, sumber perpecahan adalah perasaan hasad dan dengki, baik antar ustadz ataupun antar muridnya. Dan kita patut berkaca pada sejarah bagaimana Islam dan dakwah bisa berkembang karena akhlak pendakwahnya yang mulia.

Jangan lupa berdoa agar akhlak kita menjadi baik

Dari Ali bin Abi Thalib Rodhiallahu ‘anhu bahwa Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu do’anya beliau mengucapkan:

,أَللَّهُمَّ اهْدِنِيْ لِأَحْسَنِ الأَخْلَاقِ, فَإِنَّهُ لَا يَهْدِيْ لِأَحْسَنِهَا إِلَّاأَنْتَ

وَاصْرِفْ عَنِّيْ سَيِّئَهَالَايَصْرِفُ عَنِّيْ سَيِّئَهَاإِلَّاأَنْتَ

“Ya Alloh, tunjukkanlah aku pada akhlak yang paling baik, karena tidak ada yang bisa menunjukkannya selain Engkau. Ya Alloh, jauhkanlah aku dari akhlak yang tidak baik, karena tidak ada yang mampu menjauhkannya dariku selain Engkau.” (HR. Muslim 771, Abu Dawud 760, Tirmidzi 3419)

Dan doa dijauhkan dari akhlak yang buruk,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ

“Ya Alloh, aku berlindung kepadamu dari akhlak, amal dan hawa nafsu yang mungkar” (HR. Tirmidzi no. 3591, dishohihkan oleh Al-Albani dalam Dzolalul Jannah: 13)

Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walamdulillahi robbil ‘alamin.

Disempurnakan di Lombok, Pulau seribu Masjid

27 Ramadhan 1432 H Bertepatan 27 Agustus 2011

Semoga Allah meluruskan niat kami dalam menulis dan memperbaiki akhlak kami

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

[1] ngaji: istilah yang ma’ruf, yaitu seseorang mendapat hidayah untuk beragama sesuai dengan Al-Qur’an dan As-sunnah dengan pemahaman salafus shalih, istilah ini juga identik dengan penuntut ilmu agama