Sabtu, 06 Maret 2010

Foto Dokumenter Syaikh Albani

Syaikh Muhammad Nashiruddun Al Albani rahimahullah seorang pakar hadist yang sangat terkenal diabad ini,seorang da’i yang sabar dalam menyebarkan ilmu dan berdakwah mengajak manusia kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman salafush shalih.

Belum lama ini beredar di negeri arab film dokumenter jejak kehidupan Syaikh Albani.Sejumlah gambar cuplikan dari film tersebut dipotong dan diedarkan di beberapa forum internet.Inilah gambar-gambar tersebut,mudah-mudahan ada pelajaran yang bisa diambil bagi para tholabul ilmi dari kehidupan beliau yang tercermin dari gambar-gambar dibawah ini.

———————————————————————————————————————————————————————————————————————– 1.Dirumah inilah,Albani kecil tumbuh besar bersama kedua orangtua beliau…..

rumah

……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..…….…. 2.Di rumah inilah,Syaikh Albani tinggal bersama keluarganya setelah hijrah dari Albania…

hijrah_albania

………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………h 3.Madrasah Nidzamiyah,di madrasah ini Syaikh Albani dimasukkan oleh Ayahnya untuk belajar…


awal madrasah

………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………. 4.Tidak lama,Ayahnya mengeluarkan lagi Syaikh Albani dari Madrasah ini untuk membimbing Syaikh Albani menghapal Qur’an secara khusus dibawah bimbingan Ayahnya sendiri


madrasah2

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….. 5.Toko Jam dimana Syaikh Albani bekerja bersama Ayahnya…..(Gambar orang yang terlihat adalah Adik Syaikh Albani paling kecil)


toko2

———————————————————————————————————————————————————————————————————————————————- 6.Syaikh Albani mulai membuka toko sendiri terpisah dari Ayahnya….Dijalan inilah terletak toko beliau…

jalantoko

—————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————– 7.Inilah toko usaha servis jam Syaikh Albani

toko3

——————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————– 8.Perpustakaan Adz Dzahiriyah dimana Syaikh Albani banyak menghabiskan waktunya untuk menelaah buku…terkadang di meja khususnya diantara pengunjung dan terkadang membaca buku di tangga-tangga perpustakaan.Dan menurut putra beliau,Abdul Lathif, beliau sering lupa makan dihari itu..

maktabah2

maktabah3

maktabah4

maktabah5

———————————————————————————————————————————————————————————————————————— 9.Majalah pertama dimana Syaikh Albani menulis pertama kalinya.Majalah ini yang terbit di Dimasyq

majalahpertama

———————————————————————————————————————————————————————————————————————————- 10.Ini adalah buku Ats Tsamar Mustathob Fi Fiqhis Sunnah wal Kitab,adalah kitab pertama Syaikh dalam memulai dirasah hadist-hadist


tsamar

——————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————- 11.Silsilah Adh Dhaifah ,salah satu kitab karya Syaikh Albani yang terkenal

silsilahdoifah

———————————————————————————————————————————————————————————————————————————– 12.Manuskrip Shahih Abu Daud karya Syaikh Albani

shahihabudaud

shahihabudaud2

—————————————————————————————————————————————————————————————-- 13.Shahih “As Sirah An Nabawiyah” karya Syaikh Albani

sirah2

sirah1

Seandainya Mereka Diam, tentu Kami pun Diam!


Karena Mereka Menambah, maka Kami Tambah. Seandainya Mereka Diam, tentu Kami pun Diam

لما زادوا زدنا ولو سكتوا لسكتنا

(Syaikh Salim Ath Thawil hafidzahullah)

Segala puji hanya milik Alloh semata, sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada yang tidak ada Nabi lagi setelahnya. Amma ba’du,

… وإن العلماء ورثة الأنبياء، وإن الأنبياء لم يوّرثوا ديناراً ولا درهماً وإنما ورثوا العلم، فمن أخذه أخذ بحظ وافر

Sesungguhnya Alloh telah menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmat kepada hamba-hamba-Nya, dan Dia telah meridhoi Islam sebagai agama bagi mereka. Tatkala Rosululloh – shollallohu ‘alaihi wa sallam – meninggal dunia, beliau telah meninggalkan warisan dan ahli waris. Adapun warisan beliau adalah ilmu, sedangkan ahli warisnya adalah para ulama. Sebagaimana hal itu disebutkan dalam hadits Abu Darda – rodhiyallohu ‘anhu – dari Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bahwa beliau bersabda,

“… dan sesungguhnya para ulama adalah ahli waris para Nabi. Sedangkan para Nabi tidak meninggalkan warisan berupa dinar dan dirham, akan tetapi mereka hanyalah meninggalkan warisan berupa ilmu. Maka barangsiapa mengambilnya, dia telah mengambil bagian yang melimpah.” [Riwayat Abu Daud (3641), at-Tirmidzi (2682), dan Ibnu Majah (223). Dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohihul Jami' (2697)]

Dan sungguh para ulama telah mengeluarkan usaha yang sangat besar. Mereka senantiasa menuliskan ilmu dan menyusunnya dengan teratur. Ada yang menafsirkan al-Qur`an, ada yang menuliskan hadits, ada yang mensyarah (memberikan penjelasan) ada juga yang membuatkan judul-judul bab pembahasan. Di antara mereka ada yang menyusun ilmu dalam bentuk syair, ada yang meringkas, ada yang memberi komentar, ada yang mentahqiq, ada yang memilah antara shohih dan dhoif, ada yang membuat daftar isi, dan sebagainya, dan sebagainya. Dan semuanya adalah orang yang sangat bersungguh-sungguh pada usahanya masing-masing. Semoga Alloh membalas mereka dengan sebaik-baik pembalasan.

Kemudian ketahuilah wahai pembaca, bahwa ulama yang paling besar perjuangan dan keutamaannya adalah para ulama yang membantah ahli bid’ah, pengikut hawa nafsu dan orang-orang yang sesat lagi menyimpang. Yaitu ulama yang mempertahankan islam, membela sunnah, menolong akidah dan menolak kesesatan. Maka engkau melihat mereka di segala medan selalu mengawasi setiap orang yang sesat dan suka mempermainkan.

Demikianlah mereka menolong kebenaran dan petunjuk. Dan inilah sebagian contoh yang akan menampakkan bagimu dengan gamblang bagaimana mereka menghadapi setiap orang yang digoda oleh hawa nafsunya untuk mempermainkan agama.

Contoh pertama:

Orang-orang pengikut keyakinan wihdatul wujud dan hululiyah – yang mana mereka adalah orang-orang yang paling sesat – menyangka bahwa Alloh ta’ala berada di setiap tempat. Adapun pengikut keyakinan wihdatul wujud mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada itu hakikatnya adalah Alloh ‘azza wa jalla, apa yang kita lihat di antara berbagai makhluk tidak lain adalah bentuk yang bermacam-macam terhadap hakikat yang satu, yaitu Dzat Alloh ta’ala. Sampai-sampai mereka berkata, “Tuhan adalah hamba, dan hamba adalah tuhan.”

Dan sebagian thoghut-thoghut itu berkata, “Maha suci engkau maha suci aku, alangkah agungnya perkaraku.” Dan sebagian mereka berkata, “Aku adalah Tuhan, aku adalah Tuhan.” Maha tinggi Alloh dengan ketinggian yang besar, dari apa yang dikatakan oleh orang-orang zholim itu. Dan mereka berkata tentang Alloh dengan perkataan batil yang sangat banyak.

Adapun orang-orang hululiyah, tidak jauh berbeda dari pengikut keyakinan wihdatul wujud. Mereka menyangka bahwa Alloh ta’ala dengan dzat-Nya menitis (menempati) pada dzat-dzat sebagian makhluk, dari kalangan para wali dan orang-orang sholih. Mereka menyangka bahwa beribadah kepada wali adalah beribadah kepada Alloh ta’ala, karena Alloh telah menitis (menempati) wali tersebut. Ini adalah keyakinan hulul khosh (yaitu, keyakinan bahwa Alloh menitis hanya pada sebagian makhluk tertentu -pent). Dan di antara mereka ada yang menyangka bahwa Alloh menitis pada dzat seluruh makhluk, sampai pun pada hewan-hewan. Maha tinggi Alloh dengan ketinggian yang besar, dari apa yang mereka katakan.

Saya katakan, maka para ulama pun menghadapi orang-orang zindiq lagi menyimpang itu. Para ulama berkata, bahkan Alloh ta’ala tinggi berada di atas ‘arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. Lalu para ahli bid’ah memprotes dan berkata, dari mana kalian mengatakan, “Terpisah dari makhluk-Nya” padahal Alloh ta’ala hanya berfirman,

عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“Dia berada tinggi di atas ‘Arsy.” [Thoha: 5] dan Dia tidak berfirman, “Terpisah dari makhluk-Nya”?

Maka tatkala ahli bid’ah berkata, bahwa Alloh ta’ala menitis pada makhluk-Nya dan bercampur pada mereka, para ulama sunnah pun berkata, bahkan Alloh “terpisah dari makhluk-Nya.” Maka para ulama menghadapi kebatilan mereka dengan kebenaran.

Dan demikianlah; karena mereka menambah, maka kami pun menambah. Dan seandainya mereka diam, tentu kami pun diam.

Contoh kedua:

Alloh ta’ala memiliki wajah yang hakiki, sebagaimana firman-Nya,

(كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ (26) وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ (27

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal wajah Robbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” [ar-Rohman: 26-27]

Dan Alloh juga memiliki dua tangan yang hakiki, sebagaimana firman-Nya,

بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ

“(Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka.” [al-Maidah: 64]

Inilah keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah. Lalu ahli bid’ah berkata, kenapa kalian berkata, “wajah yang hakiki” dan “dua tangan yang hakiki” padahal Alloh tidak mengatakan seperti itu, tidak pula Rosul-Nya dan bahkan tidak pula para sahabat?

Ahlussunnah berkata, tatkala muncul orang yang beranggapan bahwa Alloh tidak memiliki wajah dan dua tangan, dan menganggap bahwa hal itu hanya sebagai majaz bukan sesuatu yang hakiki, maka ahlussunnah pun perlu untuk membantah mereka. Sehingga mereka (ahlussunnah) berkata, bahkan Alloh memiliki wajah yang hakiki bukan sebagai majaz, Dia juga memiliki dua tangan yang hakiki, bukan sebagai majaz. Karena mereka menambah, maka kami pun menambah. Dan seandainya mereka diam, tentu kami pun diam.

Contoh ketiga:

Ahlussunnah berkata, sesungguhnya Alloh ta’ala turun ke langit dunia “dengan dzat-Nya.” Lalu ahli bid’ah berkata kepada ahlussunnah, dari mana kalian mendapatkan bahwa Alloh ta’ala turun “dengan dzat-Nya” bukankah dalam hadits tidak ada keterangan turun dengan dzat-Nya, akan tetapi yang ada dalam hadits hanyalah “Alloh turun” dan “Robb kita turun” tidak ada penyebutan dengan dzat-Nya?

Ahlussunnah menjawab, tatkala ahli bid’ah memalingkan perkataan Rosul – shollallohu ‘alaihi wa sallam – sehingga mereka berkata, “Alloh turun” maksudnya adalah perintah-Nya yang turun, atau salah satu malaikat-Nya yang turun, atau rohmat-Nya yang turun; maka ahlussunnah berkata, bahkan yang turun adalah Alloh ta’ala “dengan dzat-Nya”. Mereka (ahlussunnah) menambah penjelasan “dengan dzat-Nya” untuk membantah orang-orang yang berkata, yang turun itu selain Alloh. Karena mereka menambah, maka kami pun menambah. Dan seandainya mereka diam, tentu kami pun diam.

Contoh keempat:

Ahlussunnah berkata, Alloh ta’ala memiliki sifat-sifat yang Dia bersifat dengan sifat-sifat tersebut “sesuai dengan bentuk yang layak bagi-Nya.” Ahli bid’ah berkata, dari mana kalian mendapatkan kalimat “sesuai dengan bentuk yang layak bagi-Nya”, padahal tidak ada kalimat ini dalam al-Kitab maupun as-sunnah?

Ahlussunnah menjawab, tatkala muncul orang-orang yang menolak sifat-sifat Alloh ta’ala dengan dalih bahwa penetapan sifat itu akan berkonsekuensi pada tamtsil (penyerupaan sifat Alloh dengan makhluk-Nya), maka ahlussunnah membantah mereka dengan berkata, bahkan Alloh ta’ala bersifat dengan sifat-sifat yang Dia sifatkan untuk diri-Nya atau disifatkan oleh Rosul-Nya – shollallohu ‘alaihi wa sallam – untuk-Nya “sesuai dengan bentuk yang layak bagi-Nya” tanpa ada penyerupaan. Karena mereka menambah, maka kami pun menambah. Dan seandainya mereka diam, tentu kami pun diam.

Contoh kelima:

Ahlussunnah wal Jama’ah berkata, sesungguhnya Alloh ta’ala datang pada hari kiamat dengan kedatangan yang hakiki dengan dzat-Nya. Mereka mengatakan demikian sebagai bantahan atas orang yang berkata, Dia datang secara majaz yakni yang datang adalah perintah-Nya. Demikianlah, karena mereka menambah, maka kami pun menambah. Dan seandainya mereka diam, tentu kami pun diam.

Contoh keenam:

Ahlussunnah berkata, al-Qur`an adalah perkataan Alloh ta’ala bukan makhluk, sebagaimana Alloh ta’ala telah berfirman,

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ

Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman (perkataan) Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya.” [at-Taubah: 6]

Ahli bid’ah berkata, Alloh ta’ala tidak berfirman tentang perkataan-Nya “bukan makhluk” lalu dari mana kalian mendapatkan hal itu?

Ahlussunnah berkata, dahulu kami tidak mengatakan “al-Qur`an adalah perkataan Alloh bukan makhluk” dan inilah yang dahulu dipegangi kaum salaf pada masa-masa pertama Islam. Dan tatkala muncul orang yang mengatakan bahwa al-Qur`an perkataan Alloh itu adalah makhluk, ahlussunnah pun tidak tinggal diam dengan tangan terbelenggu, bahkan mereka (ahlussunnah) berkata “al-Qur`an adalah kalam (perkataan) Alloh bukan makhluk.” Karena mereka menambah, maka kami pun menambah. Dan seandainya mereka diam, tentu kami pun diam.

Contoh ketujuh:

Ahlussunnah mengatakan, bahwa kekafiran ada dua macam; yang besar dan yang kecil. Maka tidak semua yang disebut oleh Pembuat syariat sebagai kekafiran akan mengeluarkan (pelakunya) dari agama. Bahkan di sana ada kekafiran yang tidak akan mengeluarkan pelakunya dari Islam, meskipun hal itu terjadi atau muncul darinya. Inilah yang dimaksud kufur ashghor (kekafiran yang kecil). Dan mereka juga menyebutnya dengan istilah “Kufrun duna kufrin”, dan yang semisalnya juga adalah istilah “Fisqun duna fisqin” atau “Zhulmun duna zhulmin.” Maka ahli bid’ah pun berkata, dalam nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah tidak ada apa yang kalian sangka ini, lalu dari mana kalian mendapatkan ini?

Ahlussunnah berkata, bahkan hal itu ada dalam al-Kitab dan as-Sunnah, akan tetapi kalian tidak memperhatikannya. Pembuat syariat telah menyebutkan sebagian amalan dan perkataan dengan sebutan kafir, namun Dia tidak menghendaki dengannya kekafiran yang mengeluarkan dari Islam. Oleh karena itu Ibnu Abbas – rodhiyallohu ‘anhuma – berkata, “Ini bukanlah kekafiran yang kalian pahami, akan tetapi ini adalah kufrun duna kufrin.” Inilah yang dipegangi oleh para ahli tafsir dari kalangan salaf dan para ahli tahqiq dari kalangan ulama. Seandainya bukan karena pemahaman ahli bid’ah terhadap nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah yang tidak sesuai dengan kehendak Alloh dan Rosul-Nya – shollallohu ‘alaihi wa sallam – tentu kami tidak perlu mengatakan “kufrun duna kufrin.” Karena mereka menambah, maka kami pun menambah. Dan seandainya mereka diam, tentu kami pun diam.

Contoh kedelapan:

Ahlussunnah wal Jama’ah berkata, terkadan Pembuat syariat meniadakan keimanan namun yang Dia kehendaki bukanlah peniadaan hakikat keimanan, atau pokok keimanan, atau peniadaan keimanan secara mutlak (keseluruhannya -pent). Bahkan terkadang Pembuat syariat meniadakan keimanan dan yang Dia maksudkan adalah peniadaan kesempurnaan iman, sebagaimana dalam hadits,

لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ

Tidaklah berzina seorang pezina ketika dia berzina dalam keadaan beriman.” [Riwayat Muslim (104) dari Abu Huroirah – rodhiyallohu 'anhu]

Sesungguhnya dengan sabdanya ini beliau menghendaki peniadaan kesempurnaan iman yang wajib. Yakni, ketika dia berzina orang itu tidak memiliki keimanan yang mutlak lagi sempurna yang bisa mencegahnya dari perbuatan zina.

Ahli bid’ah pun berkata, kenapa kalian menambah “peniadaan kesempurnaan” kepada hadits itu.

Ahlussunnah menjawab, ini adalah salah satu uslub gaya bahasa arab yang mereka gunakan untuk berkata-kata. Karena mereka menambah, maka kami pun menambah. Dan seandainya mereka diam, tentu kami pun diam.

Wahai saudaraku pembaca, tidak diragukan lagi di sana banyak contoh lain selain yang saya sebutkan kepadamu. Dan maksud saya hanyalah menjelaskan bantahan kepada orang-orang yang membantah ahlussunnah dengan anggapan bahwa mereka (ahlussunnah) memberikan tambahan kepada al-Kitab dan as-Sunnah sesuatu yang tidak ada padanya. Maka saya katakan, mereka (ahlussunnah) hanyalah menambahkan untuk menjelaskan kebenaran ketika para pengusung kebatilan memiliki berbagai persangkaan-persangkaan (batil). Karena mereka menambah, maka kami pun menambah. Dan seandainya mereka diam, tentu kami pun diam.

Dan segala puji hanya milik Alloh, semenjak awal sampai akhir, secara lahir dan batin. Semoga Alloh mencurahkan sholawat, salam dan berkah kepada Nabi-Nya Muhammad, dan juga kepada keluarga dan para sahabat beliau seluruhnya.

[Makalah Syaikh yang mulia Salim ath-Thowil;Dinukil dari surat kabar al-Wathon Kuwait hari senin tanggal 28 Dzulqo'dah 1430 H yang bertepatan dengan 16 November 2009 M]

Renungan Mendalam Terhadap Dakwah Salafiyah

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata dalam kaset al-Ajwibah al-Albani ‘alal As`ilah al-Kuwaitiyah, side-A ketika menjawab pertanyaan sebagai berikut:

Bagaimana pendapat Anda tentang posisi dakwah Salafiyah secara umum, dan secara khusus di Kuwait, Mesir dan Saudi?

Beliau menjawab:

Aku katakan, sesungguhnya dakwah salafiyah saat ini – sangat disayangkan – berada dalam kegoncangan. Dan menurutku sebabnya adalah ketergesa-gesaan banyak pemuda muslim yang mengaku berilmu. Sehingga dia pun lancang berani berfatwa, mengharamkan dan menghalalkan sesuatu, sebelum dia dikenal. Sebagian mereka – sebagaimana yang sering kami dengar – tidak bisa membaca ayat al-Qur`an dengan baik, meskipun ayat itu ada dihadapannya dalam mushaf yang mulia.

Lebih dari itu, dia sering salah dalam membaca hadits Rosul – ‘alaihis sholatu was salam -. Maka dia sebagaimana permumpaan yang ma’ruf, “Menjadi zabib (kismis, anggur kering) sebelum masa mudanya.” Yakni, buah anggur, pada permulaannya adalah buah yang berwarna hijau, inilah masa mudanya (sebelum matang -pent) yang rasanya masih sangat asam. Buah ini, sebelum sampai pada masa mudanya ini, telah menjadikan dirinya bagaikan zabib; yakni anggur yang telah masak dan menjadi kismis.

Oleh karena itu, maka naiknya kebanyakan orang-orang ini di atas kepala-kepala mereka, dan ketergesa-gesaan mereka dalam pengakuan ilmu dan dalam menulis – padahal mereka belum menempuh sampai pertengahan perjalanan ilmu – inilah yang membuat orang-orang yang berafiliasi kepada dakwah salafiyah sekarang menjadi berkelompok-kelompok dan bergolong-golongan, sangat disayangkan.

Oleh karena itu, satu-satunya solusi adalah hendaknya kaum muslimin ini bertakwa kepada Robb mereka ‘Azza wa Jalla, dan hendaknya mereka mengetahui bahwa tidak semua orang yang telah memulai menuntut ilmu berhak menonjolkan diri untuk berfatwa dalam masalah haram dan halal, juga dalam masalah penshohihan dan pelemahan hadits, kecuali setalah melalui umur yang panjang. Yang mana dalam umur yang panjang ini dia melatih diri untuk mengetahui bagaimana cara berfatwa, dan bagaimana cara beristinbath (mengambil kesimpulan hukum -pent) dari al-Kitab dan as-Sunnah.

Di sini, para dai salafi ini harus mengikatkan diri dengan kait yang ketiga, yang telah aku sebutkan sebelumnya ketika berbicara tentang ilmu yang bermanfaat. Telah kita katakan, bahwa ilmu yang bermanfaat itu wajib di atas manhaj as-salaf ash-sholih (generasi awal umat islam yang sholih -pent). Maka ketika banyak di antara dai islam yang menghindar dari pengikatan diri dengan kait yang telah tetap ini, yaitu kait yang telah diisyaratkan oleh al-Imam Ibnul Qoyyim – rohimahulloh – dalam syairnya yang telah lalu, ketika beliau berkata,

العلم قال الله قال رسوله قال الصحابة ليس بالتمويه

Ilmu adalah firman Alloh, sabda Rosulnya (shollallohu ‘alaihi wa sallam) dan perkataan para sahabat, bukan kepalsuan.

Maka ketiadaan perhatian terhadap apa yang ditempuh oleh Salaf, akan membawa umat manusia – setelah mereka bersepakat (bersatu) – kepada perpecahan yang akan menjauhkan di antara mereka, sebagaimana hal itu telah menjauhkan antara banyak kaum muslimin, sehingga menjadikan mereka berkelompok-kelompok dan bergolong-golongan.

كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (al-Mukminun: 53)

Inilah pandanganku terhadap kenyataan ini. Maka kewajiban mereka – jika mereka adalah orang yang ikhlas, sebagaimana yang kita harapkan – adalah berpegang teguh dengan prinsip-prinsip ilmu yang shohih, dan janganlah berbuat lancang, orang yang belum benar-benar sampai pada tingkatan ilmu hendaknya menjauhi ha itu dan menyerahkan ilmu itu kepada orang-orang yang mengetahuinya.

Di sini, ada sebagian riwayat dalam kitab-kitab hadits yang membuatku takjub. Dan seingatku riwayat itu dari Abdurrohmanbin Abi Laila – rohimahulloh – dan beliau adalah salah seorang ulama besar di kalangan as-Salaf ash-Sholih. Beliau berkata, “Aku telah menemui enam puluh orang sahabat di masjid ini – mungkin beliau mengisyaratkan kepada Masjid di Madinah al-Munawwaroh – dan salah seorang dari mereka jika ditanya tentang suatu masalah atau dimintai fatwa, dia berangan-angan agar hal itu diurusi (dijawab) oleh yang lain di antara ulama Sahabat yang hadir”.

Yang menyebabkan hal itu adalah karena mereka takut terjerumus dalam kesalahan sehingga menjerumuskan yang lain dalam kesalahan. Sehingga salah seorang dari mereka berangan-angan agar dia tidak menanggung beban tanggung jawab ini, namun ditanggung oleh yang lain.

Adapun sekarang, yang nampak adalah kebalikannya, sangat disayangkan. Dan itu kembali kepada sebab yang sangat jelas dan selalu aku sebutkan. Yaitu bahwa keterbukaan yang saat ini kita rasakan terhadap al-Kitab dan as-Sunnah dan dakwah salafiyah adalah suatu hal yang baru terjadi. Keterbukaan yang mereka namakan dengan kebangkitan ini belum melewati waktu yang cukup lama sehingga orang-orang bisa memetik buah dari dakwah, kebangkitan dan keterbukaan ini pada diri-diri mereka. Yakni, mereka terdidik di atas pondasi al-Kitab dan as-Sunnah, kemudian mereka menyebar dengan pendidikan yang shohih dan berdiri di atas al-Kitab dan as-Sunnah ini kepada orang lain di sekitar mereka, (dengan memprioritaskan) yang terdekat kemudian yang dekat.

Maka sebabnya adalah, bahwa dakwah ini belum nampak atsar (pengaruh)nya dikarenakan dakwah ini masih baru pada masa hidup kita sekarang ini. Oleh karena itu kita temui fenomena yang terbalik dengan apa yang telah kita sebutkan tadi, dari apa yang diriwayatkan oleh Abdurrohman bin Abi Laila dari para sahabat yang mereka sangat berhati-hati dari pertanyaan, dan mereka menginginkan agar orang lain yang ditanya. Dan tidaklah mereka menjawab suatu pertanyaan kecuali karena mereka mengetahui bahwa mereka tidak boleh menyembunyikan ilmu. Akan tetapi dalam lubuk hati mereka, mereka menginginkan agar orang lain yang mengurusi hal itu.

Adapun sekarang, engkau bisa temui pada banyak masyarakat salafi – terlebih lagi pada orang selain mereka – jika ditanyakan kepada salah seorang yang dianggap paling berilmu di antara yang hadir, tiba-tiba engkau dapati si fulan mulai berkata padahal dia tidak ditanya, si fulan (yang lain) juga mulai berkata padahal dia tidak ditanya. Apa yang mendorong mereka? Yang mendorong adalah kecintaan terhadap popularitas dan sikap ke-aku-an. Sikapnya mengatakan, “Aku di sini, aku memiliki ilmu”.

Maa Syaa Alloh ‘alaih! Ini menunjukkan apa? Ini menunjukkan bahwa kita belum terdidik dengan pendidikan (tarbiyah) salafiyah. Kita telah tumbuh di atas ilmu salafi (ilmu yang diambil dari generasi terdahulu yang sholih -pent), dan setiap orang sesuai dengan kesungguhan dan usahanya terhadap ilmu ini. Adapun tarbiyah, maka kita belum mendapatkannya sebagai masyarakat islam salafi. Oleh karena itu pada berbagai jamaah, kelompok, dan golongan ini, kita dapati perpecahan semacam ini pada setiap kelompok yang ada. Dan sebabnya tidak lain adalah ketiadaan tarbiyah islamiyah yang shohihah (yang benar).

Aku katakan, solusi untuk umat ini agar bisa kembali kemuliaannya, dan agar terwujud daulah untuknya, tidak ada jalan lain kecuali memulai dengan apa yang aku ringkaskan dengan dua kalimat yaitu tashfiyah dan tarbiyah. Berbeda dengan berbagai jamaah yang banyak yang berusaha menegakkan daulah islam – menurut anggapan mereka – dengan meletakkan tangan-tangan mereka di atas hukum. Baik hal itu dengan jalan damai sebagaimana yang mereka katakan; dengan pemilu, atau dengan jalan berdarah; seperti dengan pemberontakan pasukan, revolusi berdarah dan yang semacamnya.

Kita katakan, ini bukanlah jalan untuk menegakkan daulah islam di atas bumi Islam. Akan tetapi jalannya hanyalah jalan (yang ditempuh) Rosululloh – shollallohu ‘alaihi wa sallam – yang telah berdakwah di Mekah selama tiga belas tahun – sebagaimana yang kalian ketahui – kemudian menyempurnakan dakwahnya di Madinah. Dan di sana (di Madinah) setelah terpilih untuknya orang-orang yang di jalan Alloh tidak terpengaruh oleh celaan orang yang mencela, yakni di antara orang-orang yang mengikuti dan mengimani beliau, maka mulailah beliau meletakkan pondasi untuk daulah Islam.

Dan sejarah – sebagaimana dikatakan – akan berulang. Maka tidak ada jalan lain selamanya. Dan aku sangat yakin terhadap apa yang aku katakan, sedangkan pengalaman nyata semenjak sekitar satu kurun waktu menunjukkan bahwa tidak ada ruang untuk mewujudkan kebangkitan Islam yang benar yang akan menghasilkan penegakkan daulah Islam, kecuali dengan mewujudkan dua tujuan ini. (Pertama) tashfiyah, sebuah ungkapan untuk ilmu yang benar. Dan (kedua) tarbiyah, yaitu dididiknya seorang manusia di atas ilmu yang benar berlandaskan al-Kitab dan as-Sunnah.

Dan kita sekarang, berada pada kebangkitan ilmiyah bukan pada kebangkitan tarbawiyah (pendidikan). Oleh karenanya, kita dapati banyak individu dari kalangan dai yang bisa diambil faidah ilmu darinya, akan tetapi tidak bisa diambil faidah akhlak darinya. Kenapa? Karena dia menumbuhkan dirinya di atas ilmu, akan tetapi dia tidak berada pada lingkungan yang baik yang dia dididik padanya semenjak kecilnya. Oleh karena itu dia hidup dengan membawa akhlak yang telah dia warisi dari masyarakat tempat hidupnya dan tempat kelahirannya. Yaitu masyarakat yang – tidak ragu lagi – bukan masyarakat islami (masyarakat yang tercermin padanya nilai-nilai islam yang shohih -pent). Akan tetapi dengan dirinya atau dengan petunjuk sebagian ahli ilmu, dia mampu mengarah kepada ilmu yang shohih. Akan tetapi ilmu ini tidak nampak pengaruhnya pada akhlak dan tingkah laku serta amalnya.

Maka fenomena yang sedang kita bicarakan ini, sebabnya adalah:

Pertama: bahwa kita belum matang secara ilmu, kecuali beberapa individu yang sedikit.

Kedua: individu-individu itu, kebanyakan darinya tidaklah terdidik dengan pendidikan islam yang shohih. Oleh karenanya engkau bisa temui banyak di antara orang-orang yang baru mulai menuntut ilmu menjadikan dirinya sebagai ketua suatu jamaah atau kelompok. Di sini ada suatu (kata-kata) hikmah terdahulu yang mengungkapkan pengaruh popularitas ini. Kata-kata hikmah itu adalah, cinta popularitas, meruntuhkan popularitas.

Maka ini sebabnya kembali kepada ketiadaan tarbiyah (pendidikan) yang shohih di atas ilmu yang shohih.

Sumber : http://islamancient.com/articles,item,350.html